Pagi ini hanya suara televisi di ruang tamu yang menemani Deki dan keluarganya sarapan, itupun suaranya sangat kecil, ada juga suara burung yang terdengar sangat jauh. Ayah Deki yang sudah berjas, bersiap untuk kerja, hanya berdiam diri dengan koran yang sedari tadi dipandangnya. Lain dengan ibu dan kakak perempuannya yang hanya fokus dengan smartphone-nya. Pagi yang seharusnya cerah dengan nuansa wewangian senyum, canda dan tawa sebuah keluarga kini seolah pergi diterpa angin.
Deki sudah menghabiskan sarapan nasi goreng dengan telor dadarnya, ia memandangi piring ayah dan ibunya yang belum menyenggol nasi goreng mereka. Hanya kakaknya yang memakan sesendok, itupun setelahnya ia tak hiraukan lagi. Deki seorang siswa SMP yang sekarang duduk di kelas 3 sedikit kasihan dengan bi Ina, pembantunya yang telah membuatkan mereka nasi goreng.
"Ayah, nggak makan nasi goreng ya ?" Celetuk Deki, ia membuka suara, matanya tak dapat memandangi wajah ayahnya yang tertupi koran.
Mendengar suara Deki, ayahnya bergegas melipat korannya, ditaruhnya di atas tas kerjanya yang ada didekat kursi. Ia tak mengeluarkan suara, bahkan tatapan matanya kosong, hendak memakan ia menoleh jam tangan di tangan kanannya, bergegas ia memakan sesendok kemudian mengambil tas kerjanya, beranjak dari meja dapur.
"Kenapa Yah ?" Tanya Deki bingung.
"Ayah telat, Dek." Jawab ayahnya berjalan cepat melewati mereka yang sedang duduk berkumpul di meja makan berbentuk segi empat.
Deki sedikit tersenyum, namun batinnya begitu kesal melihat hal ini terus berulang. Ia memandang ibunya, tak sedikitpun tubuhnya bergerak hanya jari-jemari yang sedari tadi berolah raga dengan layar di smartphone-nya.
Kakak perempuannya bangkit, ia mengalungkan tas kuliahnya yang tersangkut di kursi itu. Ia berjalan menuju ruang depan, namun kepalanya tetap menunduk menatap layar handphone-nya. Sekarang di meja itu tinggal Deki dan ibunya, ia mengeluarkan suara kecil menyapa ibunya."Bu," ucap Deki.
"Iya ?" Tanya ibunya sambil tetap fokus pada smartphone-nya.
"Minggu depan yang jadi pemimpin upacara Deki, Bu," jawab Deki dengan wajah bangga, ia berharap ibunya senang dengan predikatnya sebagai pemimpin upacara nanti.
"Wah bagus dong," ucap Ibunya, namun untuk kesekian kalinya mata ibunya tetap tertuju pada smartphone-nya.
Rasa kecewa tumbuh dari wajah Deki, ia kesal dengan ibunya yang tak mengeluarkan rasa haru ataupun bangga dengan hal yang dilakukan oleh Deki. Ia bangkit dari duduknya, setelah meminum air putih ia pergi ke depan untuk segera pergi sekolah, ia bahkan tak biasanya tidak pamit dengan ibunya. Sembari berjalan ke depan, ia sedikit menoleh ke belakang melihat ibunya yang masih asyik dengan gadget-nya. Ia melepas kesalnya, bergegas menemui ojek yang telah menunggunya.
Tepat jam 7 ia telah sampai di sekolah, berbeda dengan di rumahnya, kini disini ia melihat begitu banyak nuansa canda dan tawa yang begitu bergema hingga ke seluruh sekolah itu. Ia cepat mengambil langkahnya menuju kelasnya yang terletak di ujung sekolah, persis bersebelahan dengan toilet siswa di sekolah itu. Sebuah pemandangan yang tidak begitu menyenangkan, dia harus melewati toilet siswa yang begitu menusuk hidung baunya, berbeda dengan toilet guru yang begitu wangi dan terawat. Bahkan terkadang, mereka yang melewati toilet itu harus menahan nafas, pernah ada yang tidak menahan nafas, namun yang terjadi siswa itu muntah tak karuan.
Kini Deki tepat berada di depan kelasnya, pintunya masih tertutup, ia memperhatikan dekorasi pintu itu. Ada sebuah kertas moto bertuliskan jagalah kebersihan yang tertempel di sisi kiri pintu itu, di tengah-tengahnya terdapat sebuah kertas berbentuk love, di kertas itu bertuliskan kami adalah keluarga, kalau bukan keluarga berarti bukan kami, di ujungnya terdapat emoticon senyum. Di atas kertas berbentuk love itu terdapat nama kelasnya, tertulis besar berbentuk AKD 12.
Deki membuka pintu itu perlahan, belum ada guru yang duduk di kursinya, ia melangkah kakinya ke dalam ruang itu. Sebuah pemandangan yang selalu memeriahkan batinnya, sebuah kegaduhan sedang terjadi di ruang itu. Ia melihat ada yang sedang bercanda tawa dengan teman-teman sebangkunya, ada yang bercerita begitu serius entah apa yang dibicarakan oleh anak seumuran mereka, ada juga yang kejar-kejaran, lempar-lemparan kertas, ada juga yang sedang berkumpul di ujung kelas, entah apa yang sedang mereka lihat. Deki berjalan ke belakang tepat dua baris dari depan menuju tempat duduknya, setelah melihat-lihat dengan senang hal-hal yang dilakukan oleh teman-temannya.
Ia menaruh tasnya, lalu menopang dagunya di tas yang ditaruhnya di meja. Ia memandangi lagi canda teman-temannya, ia terlintas membayangkan hal itu terjadi di keluarganya, ayahnya yang bercanda dengannya, ibunya yang mengoloknya dengan kakak perempuannya, bahkan tidak ada gadget disekitar mereka. Namun itu semua tidak mungkin terjadi, ia menghela nafasnya bangkit dari santainya.
Kali ini ia bersender di kursinya,ia belum melihat Ruli, teman sebangkunya datang.
Sebuah terjangan kuat dari arah pintu depan membuat semua yang ada di kelas kaget, Ruli berlari menuju tempat duduknya diikuti tawanya. Banyak yang marah dengannya, ada yang keluar kata-kata kotor, bahkan ada yang menyumpahinya. Namun Ruli hanya menanggapinya dengan biasa saja, dia memang sering berkelakuan seperti itu. Bahkan ia pernah mengageti siswi yang sedang berada di toilet, hingga ia pernah dilempar penghapus papan tulis karena mengganggu siswi yang sedang menulis di depan.
"Wah, tumben aku duluan yang datang Rul," ucapku sebagai sapaan dia datang.
"Aku udah datang dari tadi Dek," ucap Ruli membalas sapaan Deki sambil melepas tas ranselnya.
"Kemana aja kamu kalo sudah datang dari tadi ?" tanya Deki penasaran.
"Tadi dipanggil bu Rita, dia ngasih tau kalo nggak bisa masuk," jawab Ruli sambil tertawa kecil.
"Ya udah, buruan kasih tau sama temen-temen !" suruh Deki.
"Aku mau ngerjain mereka Dek, diem-diem aja ya kamu," ucap Ruli dengan suara kecil.
Deki hanya menjawab dengan alis yang menyatu, ia memang tahu teman sebangkunya begitu jahil. Tapi sepertinya itu memang hobinya, jadi ia tak menjawab sama sekali.
"Diva," panggil Ruli sambil melihat ke meja depan menunggu jawaban panggilannya.
"Apaan ?" tanya Diva dengan wajah kesal sambil menoleh kemeja Deki dan Ruli,ia masih kesal dengan tindakan Ruli barusan yang membuatnya terkejut.
"Sini bentar,"
"Males ah," jawab Diva cuek.
"Ya udah kalo kamu mau dimarahi sama bu Rita," balas Ruli, bibirnya seolah menang, Diva menoleh lagi, ia menatap wajah Ruli sambil beranjak dari tempat duduknya. Semua siswa yang tadinya sedang asyik dengan kegiatannya, kini beralih menatap Ruli setelah ia menyebutkan nama guru killer dihadapan mereka.
"Buruan bu Rita nyuruh apaan ?" tanya Diva kesal.
"Dia nyuruh kita ngeringkas buku," jawab Ruli tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku cetak dari tasnya. "Nih, halaman 67 sampai selesai," tunjuk Ruli.
Diva adalah sekretaris di kelas itu, jadi kalau ada tugas dari guru pasti dia yang ditunjuk. Ia cepat menyambar buku itu, malas terlalu lama berhadapan dengan Ruli, ia berjalan ke depan. Sebelum menulis, ia berkata sebentar. "ada tugas dari bu Rita, disuruh ngeringkas,"
Semua siswa yang tadinya seolah penjual dan pembeli di pasar,kini berubah menjadi domba yang diawasi oleh serigala. Begitu tertib menulis, hanya anak laki-laki di kelas itu yang malas setiap ada tugas meringkas, termasuk juga Deki.
"Nggak kasian apa kamu sama Diva," ucap Deki pada Ruli yang sedang menggambar seolah sedang menulis.
"Nanti kalo papan tulisnya sudah penuh aku kasih tau," balas Ruli, wajahnya kelihatan begitu senang hingga tak peduli apa yang akan terjadi nanti.
"Emang kamu nggak kasian sama dia Rul ?" tanya Deki penasaran.
"Liat aja nanti Dek," ia berhenti menggambar, memperhatikan Diva merangkai kata per kata di papan tulis itu. Hanya siswa perempuan yang termakan oleh ucapan dari Ruli, sedangkan yang laki-laki hanya duduk melamun, ada yang tertidur sambil menutupi wajahnya dengan buku, ada juga yang menggambar seperti Ruli.
Sebuah suara berdehem memecah keheningan di kelas itu, semua mata tertuju pada Ruli, mereka tahu bahwa itu adalah tanda keusilannya sedang terjadi. "nah, pasti Ruli buat ulah lagi nih," ucap Galang salah seorang temannya yang duduk di ujung kelas.
"Wah iya nih," sambung teman sebangku Galang, Raden.
Ruli hanya tersenyum mendengar celotehan temannya, ia kemudian bangkit, berdiri menjauh dari kursinya. Entah apa yang dilakukannya. Ia melirik ke depan, matanya sembunyi mencuri tatapan dari sela pundak teman-teman di depannya. Namun entah kenapa, tiba-tiba Diva melempar spidol tepat mengenai tempat duduk Ruli, untung tak ada Ruli disana hingga spidol itu terpantul ke bawah.
Mata Diva melirik, menatap satu persatu teman-temannya. Dari ujung, ke depan, ke belakang, hingga ia menemukan seseorang sembunyi di belakang kursi April. Ia mengangkat kakinya, berlari kencang mengejar Ruli. Hingga membuat mereka kejar-kejaran.
"Dimulai lagi deh," ucap Yuni teman Diva.
"Kenapa kalian nggak jadian aja sih," sambung Santi yang duduk di depan dan tengah memperhatikan mereka.
Suasana yang tadinya tertib kini berubah menjadi pasar lagi, teman-temannya yang sebelumnya tidur-tiduran kini melanjutkan kembali, ada yang kembali cerita, bahkan ada yang meneriaki Ruli dan Diva kejar-kejaran. "Cie-cie," ledek Deki.
Ia tertawa kecil melihat Diva yang marah besar dengan Ruli, bahkan Ruli tidak mempedulikan kemarahan Diva, ia tahu kalau Diva akan meledakan amarahnya jika sampai bisa menangkap Ruli, bahkan dia bisa sampai menangis atau melakukan hal lainnya.
Ketua kelas yang seharusnya menjaga ketertiban kelas masa bodoh dengan hal yang dilakukan oleh Ruli dan Diva, dia tahu kalau mereka adalah ciri khas dari kelasnya. Bahkan ketua kelas itu mengolok mereka.
Deki memandangi mereka, satu persatu temannya ia perhatikan, dari ujung ke ujung, dari yang perempuan hingga laki-laki. Ia tersenyum sebentar, ia melihat ada yang bercanda dengan teman sebangkunya, ada yang tertawa melihat tingkah laku Ruli dan Diva yang masih kejar-kejaran, ada yang bernyanyi seolah superstar sembari menggambar-gambar di buku tulisnya. Deki termenung sejenak, ia merasa bahwasannya kelasnya ini bukan hanya tempat belajar atau menuntut ilmu, lebih dari itu semua. Ia merasa seperti menemukan rumah, tempat tinggal, bukan, bahkan ia telah menemukan keluarga keduanya di kelas AKD ini. Keluarga yang telah memberikannya tawa, canda, kenangan yang begitu indah. Hingga ia tak sadar air mata kebahagiaan telah mengalir di pipinya.
"Deki, tolongin aku," ucap Ruli keras, ia memecah lamunan Deki dan menarik pundaknya hingga menjadikannya tameng untuk menangkis pukulan Diva.
"Kamu nggak apa-apa Dek ?" tanya Diva pelan, ia sadar kalau Deki barusan mengeluarkan air mata. Ia bertanya-tanya apa gerangan sebenarnya terjadi.
"Ah, nggak apa-apa kok," jawab Deki sembari menghapus air mata yang telah mengalir, bahkan dia sendiri tak sadar kalau sampai mengeluarkan air mata.
Ruli yang sedang menjadikan Deki tamengnya berbalik arah melihat teman sebangkunya, ia duduk di kursinya, dihiraukannya Diva yang berdiri di sebelah kursinya, bahkan mereka berdua tidak mrnjadi kucing dan tikus lagi. "Beneran kamu nggak apa-apa Dek ?" tanya Ruli yang ikut penasaran.
"Aku cuma seneng aja, ternyata aku udah nemuin tempat tinggal, sebuah rumah yang selama ini kudambakan, rumah yang penuh dengan canda dan tawa,"
"Kamu diusir ya Dek ?" tanya Ruli polos.
"Huh, ada-ada aja kamu ni," sahut Diva, sambil menggetokan spidol yang sedang dipegangnya di kepala Ruli.
"Aduh, sakit tau," ucap Ruli memegangi kepalanya.
Deki hanya tersenyum melihat tingkah mereka, ia senang dengan hari-harinya selama ini, ia bahkan merasa sudah pulang ke rumah, ia tidak ingin hari-harinya di sekolah ini cepat berakhir, ataupun jika mereka sudah pulang dia ingin agar hari esok cepat didatangkan.
0 komentar:
Posting Komentar