Angin berhembus tenang, bersama sejuknya
suasana pagi hari di taman. Pohon-pohon besar yang rindang melepaskan
satu-persatu dedaunan yang menempel. Pertanda sebuah cuaca akan berubah. saat
itu sore hari, awan putih sudah menutupi diri dengan pergantian awan hitam,
sebuah pertanda hujan akan turun di taman. Seorang perempuan bernama Citra tengah
berdiri dihadapan sebuah pohon kecil, membenahi ranting-ranting yang berjatuhan
disekitarnya. Citra tampak ceria, ia memainkan gerakan kepala sambil mengikuti
irama nada yang berasal dari headset yang dipakainya. Dengan mengenakan
topi dari lambang salah satu universitasnya dan jaket sang almamaternya yang digunakan.
Dari tas selempang yang digunakannya terdapat sebuah pin kecil bertuliskan
JAGALAH ALAM, MAKA ALAM AKAN MENJAGAMU, sebuah pertanda yang menandakan bahwa
perempuan itu adalah seorang aktivis alam.
Selesai membenahi ranting pohon,
Citra kembali duduk di kursi salah satu sudut taman, dimana dikursi itu
terdapat beberapa buku yang telah disiapkannya sebagai catatan akan kegiatan
yang tengah dilakukannya. Sambil menikmati irama lagu
yang berasal dari handphone-nya.
Ia membuka salah satu buku yang ada di sampingnya, membuka lembar perlembar
catatan yang ditulisnya.
Layaknya sebuah petir yang menyambar
di tengah malam, seorang perempuan tengah melempar helm motor hingga kacanya
retak. Membuat Citra tersentak kaget, ia melepas headset-nya.
Pandangannya tertuju pada pasangan yang ada di depannya, perempuan yang
melemparkan helm motor tengah menampilkan raut wajah yang kesal, marah, dengan
laki-laki yang ada di depanya. Citra mengecilkan suara musik yang didengarnya,
dan tetap melanjutkan melihat catatan yang ada di pangkuannya. Citra terkejut,
wajahnya tampak memerah, pandangannya kosong, betapa tidak, Ia barusan melihat
laki-laki yang ada di depannya di tampar perempuan. Lalu perempuan itu pergi
meninggalkan lelaki tersebut. Angin tetap berhembus tenang, mengantarkan sebuah
perpisahan antara lelaki dan perempuan tersebut.
Laki-laki itu terdiam, ia duduk di
sebelah buku-buku Citra. Tertunduk, helm yang menggantung di pergelangan
tangannya perlahan melepaskan diri, jatuh menggelinding. Ia mengambil sebuah
botol minuman dari saku jaket kulit hitamnya, namun entah kenapa, minuman yang
di pegangnya tumpah membasahi tangannya. Ia melempar botol minuman itu ke
lantai taman, menghasilkan suara yang membuat Citra kaget. Ia kembali
tertunduk, bingung dengan kejadian barusan. Citra yang berada di dekatnya
bingung harus melakukan apa, ia bagaikan melihat sinetron yang ada di depannya,
sayangnya itu adalah hal yang nyata. Ia bergegas memeriksa tas selempangnya,
mengambil sebuah botol minuman soda, dan memberikannya kepada lelaki yang
tengah tertunduk dengan hal yang dialaminya. “Nih..” ucap Citra dengan suara
lembutnya.
Lelaki itu mengangkat kepalanya,
melihat minuman yang diberikan Citra, lalu mengambil dan meminumnya. Wajahnya
mulai tampak diam, tidak ada lagi kesedihan yang tampil di wajahnya.
“Terkadang, memang perempuan itu
sulit untuk ditebak...” Citra tiba-tiba mengeluarkan suaranya, ia bangkit dari
duduknya, mengambil botol minuman yang di banting oleh lelaki tadi.
Lelaki itu mulai memperhatikan
ucapan Citra,
“Sama dengan botol yang kau buang
ini,” kata Citra kembali duduk sambil memandangi botol minuman yang di ambilnya
tadi. “Jika kau bisa menjaga alam ini, maka alam ini juga pasti akan
menjagamu,” senyum Citra tampak lebar memandang lelaki di sampingnya saat
mengeluarkan kata-kata itu.
Lelaki itu memperhatikan almamater
yang dipakainya, ia tahu bahwa perempuan yang disampingnya adalah seorang
mahasiswi. “Salah satu cara menjaga alam adalah, membuang botol ini pada
tempatnya,” lanjut Citra, ia kembali berdiri dan membuang botol tersebut
kedalam bak sampah sampah yang ada di pinggir dekat kursi sebelah lelaki itu.
“Apa kau tau rasanya di sakiti oleh
orang yang kau sayang ?” Lelaki itu mengeluarkan suara lemasnya. “Ya, kau tidak
akan mengerti.” Ucap lelaki itu, meminum kembali minuman yang dari Citra.
Citra yang sesaat diam mendengar ucapan
lelaki itu, beranjak tersenyum kecil, ia menatap langit yang sudah mulai
menampakan awan kelam. Angin tetap berhembus, namun kali ini sang Maha Kuasa
menaikan kecepatannya. Sehingga rambut Citra ikut terbawa arus angin tersebut.
“Kau lihat angin ini,”
Lelaki itu hanya bingung melihat
tingkah Citra yang berdiri di depannya, tanganya direntangkan kesamping,
matanya terpejam, wajahnya tersenyum lebar. “Dia tidak peduli, apakah manusia
itu sedih ataupun senang, tapi ia tetap memberikan kesejukan dengan hembusannya.”
Citra menghirup udara, “berdiri dan rasakanlah,” ajak Citra.
“Hatiku sudah sakit, aku tidak akan
menambah jiwaku untuk yang kedua kalinya”
Citra hanya tersenyum, dan tetap
melanjutkan aksinya. Ia tidak peduli lelaki itu mengiranya sudah gila, atau
bahkan orang-orang yang sedang berada di taman tersebut. “Kau akan mengerti
jika angin yang berhembus ini sudah melewati tenggorokanmu.” Citra menghentikan
kegiatannya, ia duduk kembali, membereskan buku dan catatan yang ada di kursi
tersebut. Memasukannya ke dalam tas selempangnya. Headset yang
sebelumnya terlepas sendiri dari telinganya kini dipasang kembali bersiap
mendengar lantunan musik dari handphone-nya, ia bergegas untuk pulang.
Kegiatannya hari ini telah usai, ia meninggalkan lelaki itu dan tidak menyadari
salah satu pinnya tertinggal di kursi dekat lelaki itu. Sebelum ia pergi jauh
meninggalkan lelaki tersebut, ia mengambil helm yang sebelumnya dilempar oleh
perempuan yang mempunyai masalah dengan lelaki tersebut hingga membuat kaca
helm itu pecah. “Lain kali, buanglah sampah pada tempatnya.” Ucap Citra tersenyum,
meletakan helm di dekat lelaki itu, kemudian pergi meninggalkan lelaki yang
tengah merasakan duka atas kelaraan hatinya.
Lelaki yang duduk di sebelahnya
diam. Terpaku, hening sejenak. Memperhatikan sekitar taman kota. Orang-orang,
ada yang membawa anak, pasangan kekasih. Pandangannnya berubah pada salah satu
benda kecil disebelahnya, ia menatap tajam. Sebuah pin bergambar pohon bercorak
hijau, di sebelah gambar pohon terdapat tulisan melingkar Jagalah Alam.
Tangannya menggapai pin tersebut, meraihnya. Lalu memperhatikan secara seksama.
Ia yakin kalau pin itu milik seorang perempuan yang duduk bersamanya tadi. Ia
hanya memikirkan, perempuan yang membuatnya aneh. Pikirnya, masih ada perempuan
yang seperti itu. Sedikit namun perlahan, kerutan di wajahnya mulai memancarkan
senyuman. Ya, senyuman tanda keceriaan.
*****
Esok hari, Citra kembali ke taman.
Setelah selesai dengan kegiatannya di kampus, ia melanjutkan aktivitasnya
sebagai aktivis pecinta alam. Ia hanya sendiri, teman-temannya berada di tempat
berbeda. Namun kecintaannya sebagai pecinta alam tak membuatnya jenuh, salah
satunya adalah dengan caranya membagikan brosur tentang kepedulian tentang
kebersihan lingkungan, khususnya di tempat umum. Ia berdiri, membagikan brosur
yang di pegangnya kepada setiap orang yang datang ke taman melalui jalan masuk
depan taman.
Cuaca hari itu tampak sejuk,
meskipun panas sang surya menenggelamkan awan kelam. Dedaunan menari mengikuti
irama angin yang berhembus tak berarah. Di jalan dekat taman, semua kendaraan
hilir berganti memenuhi panggilan profesi. Burung-burung gereja seperti biasa
tetap bertengger di ranting pohon besar. Semua canda tawa dari setiap keluarga
yang datang membuat taman di hari itu terlihat harmonis. Citra dengan nada
kesopanannya tetap semangat membagi brosur. “Mari kita jaga lingkungan ini,
lingkungan sehat pasti akan menghasilkan jiwa yang sehat,” ucap Citra keras,
tebar pesona dengan senyumnya tetap memancar.
“Huh, hari ini sungguh melelahkan,
sebaiknya aku harus mencatat kembali kegiatan hari ini,” Citra berjalan ke arah
kursi, tempat khususnya di taman. Ia duduk, melepas tas selempangnya. Ia
mengeluarkan buku-buku kecil yang tersimpan di dalamnya. Pena sudah siap
berdiri di antara jemari Citra.
Entah angin apa yang datang,
burung-burung pun masih bertengger di ranting pohon yang rindang, tidak ada
perubahan cuaca yang aneh. Namun sebuah benda kecil melayang mengenai dahinya,
Citra kaget. Mengira ada hal-hal yang aneh terjadi disiang hari. Ia sadar dari
kagetnya, melihat benda kecil itu, tak lain pinnya lah yang melayang mengenai
dahinya. Ia heran, bagaimana pin miliknya bisa melayang seperti tadi. Untuk
kedua kalinya benda kecil melayang lagi, namun kali ini jatuh tepat di atas
buku catatan Citra. “Bungkus permen,” pikirnya.
“Aku adalah orang yang selalu
bertanggung jawab, bahkan untuk hal terkecilpun.”
Citra mendengar sebuah suara dari
depannya, tak asing dengan suara itu. Ia mengira orang yang berdiri di depannya
adalah pengunjung taman. Kekesalan meraba di wajah Citra, ia kesal melihat
lelaki tersebut adalah orang kemarin yang duduk di sampingnya. Kesal itu ia
tampilkan saat bungkus permen yang ternyata di buang secara sembarang oleh
lelaki itu.
“Aku sudah lega karena mengembalikan
pin itu, kau meninggalkannya kemarin, setidaknya itulah tanggung jawabku
sebagai penemu benda itu,” ia memutar tubuhnya, tanda akan meninggalkan Citra.
“Heey...,” ucap Citra dengan nada keras.
“Aku tidak memerlukan ucapan terima
kasih darimu,” sela lelaki itu.
“Bukkk,” bunyi sebuah buku jatuh,
setelah melayang membentur kepala belakang lelaki itu.”Apa yang kau lakukan ?”
ucap lelaki itu kesal, mendekati Citra.
“Jika kau ingin mengembalikan
sesuatu, maka belajarlah dengan benar,” ucap Citra kesal, ia berdiri berhadapan
dengan lelaki itu yang hanya diam kesal menatap Citra. “satu hal lagi, jangan
pernah membuang sampah sembarangan,” Gertak Citra mendorong lelaki itu dengan
kuat hingga terpukul mundur, Citra kembali duduk. Tidak mempedulikan lelaki
itu.
Lelaki itu ingin pergi meninggalkan
Citra, namun emosi nya meluap bagaikan air panas yang sudah mendidih, ia
mendekati Citra. Berhenti sejenak di hadapan Citra, lalu ia meraih tangan Citra
dan mengangkatnya berdiri dengan paksa. Ia tidak peduli pena dan buku catatan
Citra jatuh. “Kau lihat itu ?” tunjuk lelaki itu mengarah ke salah seorang yang
sedang menyapu sampah di pinggir jalan. Ya orang yang ditunjuknya adalah
seorang pegawai dinas kebersihan kota, terlihat dari pakaian berwarna kuning yang
dikenakannya.
“Kewajiban dia adalah membersihkan
sampah, lalu kalo kita yang buang sampah-sampah ini, tanggung jawab dia kemana
?” ucap lelaki itu meyakinkan Citra, “Sama kayak pembantuku, dia bertugas untuk
mencuci pakaian, piring, membersihkan rumah. Jadi, pahami itu sekali lagi”
tegas lelaki itu melepaskan genggaman eratnya pada tangan Citra.
“Siapa namamu ?” tanya Citra mendesak,
lelaki itu bingung kenapa Citra menanyakan namanya. “Gilang,” jawab lelaki itu
cepat.
“Gilang...”ucap Citra sembari menunduk
memeriksa tas selempangnya dan mengambil sebuah minuman jus. “Kau tau ini ?”
tanya Citra menunjukan botol minuman jus tersebut kepada lelaki yang bernama Gilang.
“Minuman botol,” jawab Gilang
bingung dengan pertanyaan Citra,
Tanpa basa basi, Citra yang dari
tadi hanya mendengarkan kata-kata dari mulut Gilang, langsung menuangkan
minuman tersebut kepakaian putih dengan corak bergambar burung elang yang
dipakai oleh Gilang. Cuaca saat itu nampak tenang, tapi suasana antara Citra
dan Gilang mulai memanas, seperti sebuah bola lampu yang terus menyala.
“Apa-apaan ini,” ucap Gilang marah,
alisnya tajam memandangi Citra, tangannya cepat meraih botol yang tengah di
pegang Citra, ia membanting botol minuman itu dengan kerasnya.
“Apa kau peduli dengan keadaan
orang-orang yang lingkungannya kebanjiran, orang-orang yang terkena penyakit
karena lingkungan yang kotor, dan apa kau peduli dengan alam ini.”gertak Citra,
menatap tajam mata Gilang,”aku rasa kau tidak akan peduli. Kau tidak akan
mengerti kalau sampah kecil ini mampu merusak alam ini. Ya, kau memang tidak
akan mengerti,” Citra makin menguatkan nada suaranya, ia tidak peduli dengan
orang-orang disekitar yang menyaksikannya. Ia hampir kehilangan tetesan air
mata, namun ia tetap menahannya. Ia sangat bodoh jika harus meneteskan air mata
di depan lelaki yang tidak peduli dengan lingkungan.
“Harusnya kau sadar, tanggung jawab
itu bukan mengenai apa yang harus kau lakukan, tapi bagaimana selanjutnya yang
akan kau lakukan. Dari hal itu kau akan mengerti selanjutnya apa yang harus kau
lakukan. Jangan pernah mengandalkan orang lain untuk hal-hal yang bisa kau
lakukan.” Lanjut Citra, ia sangat yakin dengan kata-kata yang diucapkannya
mampu membuat si Gilang lebih mengerti tentang bagaimana mencintai alam.
“Cukup,” ucap Gilang, nada suaranya berubah lemas, air
matanya sedikit mulai mengalir, ia seperti mulai sadar bahwa tanggung jawab
menjaga alam yang di ucapkan oleh Citra memang tanggung jawab bersama.
Citra memungut botol minuman yang di
hempaskan oleh Gilang, perlahan ia berjalan menuju bak sampah. Mata Gilang
menatap pelan gerakan Citra. “Mungkin, ini salah satu alasan. Kenapa perempuan
kemarin sampai berbuat seperti itu,” ucap Citra lemas, ia mengambil buku
catatan dan pena yang terjatuh dari kursi. Duduk, melanjutkan catatan yang
terhenti akibat dari permasalahan yang dihadapinya.
Gilang yang memiliki gaya rambut
sedikit cepak, tubuhnya tinggi, bahkan saat berdiri bersandingan dengan Citra,
kepalanya hanya sebatas dagu Gilang. Ia diam, tak mengeluarkan sepatah katapun,
ia ingin menangis namun malu dengan perempuan seperti Citra. Ia memutar
tubuhnya, “Terima kasih untuk emosimu, aku mengerti kenapa kita harus menjaga
alam.” Ucap Gilang semakin lemas, suaranya paruh hampir tak terdengar.”Bisa aku
mendapatkan satu kalimat, darimu”
“Kebersihan itu sebagian dari
Cinta,” ucap Citra pelan, senyuman kecil
mulai sedikit tampak di wajahnya.
“Angin... terima kasih sudah
mempertemukanku dengan seseorang yang peduli denganmu, bahkan untuk di jaman
sekarang,” ucap Gilang, ia juga menampilkan rautan senyum kecil diwajahnya. Ia
membentangkan tanganya, persis seperti yang dilakukan oleh Citra kemarin sore.
Matanya terpejam, dari belakang Citra hanya tersenyum melihatnya. Ia senang,
ya. Mungkin untuk saat ini dia sudah mengajak satu orang, bahkan ia sudah
mengubah prinsip seseorang.
“Aku harap kita bisa bertemu
kembali,” ucap Gilang melangkahkan kakinya menjauh dari Citra, “Kita satu
kampus,” ucap Gilang membalikan badannya, serta memberikan senyuman
kepergiannya dari taman. Gilang mengetahui kalau Citra sekampus dengannya
adalah saat ia melihat jas almamater yang dipakainya kemarin.
Citra tersenyum bangga, ia membuat
gambar pohon kecil pada buku catatannya, dedaunannya membentuk pola hati, di
sisi pohon ia gambarkan seorang lelaki yang bersender di pohon, begitupun
disisi lainnya ia gambarkan perempuan yang sedang duduk, di bawah gambaran itu
ia menulis, “Hari ini aku menemukan orang yang aku pedulikan” dan membuat
simbol hati pada kalimat terakhirnya.
*****
0 komentar:
Posting Komentar