Kilatan air biru melempar beningnya tetes air, mengenai seorang anak kecil yang tengah terlelap dalam tidurnya. Ia terbangun, kaget, wajahnya mengkerut, kelopak matanya sedikit terbuka. Sebuah pemandangan telah berubah, air yang luas sudah ada disekitarnya, ombak kecilpun telah menghiasi. Anak laki-laki bernama Nanda, usianya baru delapan tahun, ia melepas pandangannya, menegakkan tubuhnya meski kakinya masih dalam kondisi tidur, kedua tangannya mencengkeram pinggiran papan di perahu kecil yang tengah dinaikinya. Di tengah perahu tersebut terdapat sebuah layar kain putih sobek nan lusuh, membentuk segitiga besar. Namun, layar yang menghiasi perahu tua tengah digulung ke atas, berharap tiupan angin berhenti membawanya. Disisi kiri perahu terdapat dua buah ember bekas cat, sekitar dalamnya sudah kotor, penuh dengan sisik ikan. Disisi kanan perahu tersebut dipenuhi rangkaian jaring-jaring yang sudah kusam.
Nanda membalikkan tubuhnya, matanya berubah tajam sesekali membesar bagaikan teropong. Kepalanya merubah haluan, kadang ke kanan tak lama
“Ayah, kita sudah jauh ya,” ucap Nanda, ia masih menggerakkan kepalanya, memperhatikan sekitarnya, ia takut jika perahu kecilnya akan menjauh dari tempat tinggalnya.
“Iya Nda,” jawab ayahnya yang masih sibuk dengan ikan-ikannya. “Kamu takut ya,” ledek ayahnya.
“Enggak kok, Nanda nggak takut.” Ia mendekati ayahnya yang sibuk dengan ikan-ikannya, tubuhnya merayap melewati papan kecil di perahu itu, ia kadang berhenti saat perahu itu bergoyang. Bahkan untuk melepas malunya, ia sesekali melihat ke langit, Namun hal itu tidak bisa membohongi ayahnya. Diam-diam ayahnya menggerakkan perahunya, hingga perahu kecil itu bergoyang.
“Ayahhhh...” teriak Nanda, ia memejamkan matanya, memegang erat papan kecil yang sedang di peluknya, air matanya hampir keluar. Tubuhnya gemetar, ia bagaikan sedang di dalam arena tempur dimana musuh hampir menembakinya. Sebuah tangan mendatanginya, mencolek bahu kecil Nanda, ia tahu bahwa itu tangan ayahnya yang memiliki bau khas. Ia tanggap, meraih keras tangan ayahnya, enggan melepasnya, hingga membawanya pada tumpukan ikan-ikan yang sedang bermain dengan ayahnya.
“Maafin ayah ya,” ucap ayahnya tertawa kecil, ia memeluk Nanda. Kakinya menggeser jaring yang masih dihiasi oleh ikan-ikan laut. “Ayah, pulang dong, Nanda udah takut nih,” ucap Nanda mendengakkan kepalanya, menatap ayahnya. Matanya berkilau berharap ayahnya segera meninggalkan seramnya keadaan saat itu.
“Katanya berani,” ledek ayahnya lagi, ia melepaskan pelukan erat Nanda, namun tertahan oleh kencangnya tangan Nanda meraih punggungnya.
“Pokoknya pulang sekarang, Nanda nggak mau lagi ikut ayah ke laut,”
“Katanya mau liat lumba-lumba,”
“Nggak mau, nggak mau lagi Nanda ke laut,”
“Ya sudah, kita pulang, tapi lepasin ayah dulu dong,”
“Beneran,” jawab Nanda kesal, ia melepaskan perlahan ikatan tangannya di punggung ayahnya, matanya mengecil, tubuhnya lemas, kadang malu, kadang kesal juga. Ia duduk di bawah, membelakangi ayahnya.
“Tapi ayah ngambil ikan di jaring ini dulu ya,” jawab ayahnya, tanganya memanjang mengambil tumpukan jaring yang ada didekat Nanda, ia kembali duduk santai, merajut ikan-ikan di jaring itu sambil menikmati pesona lautan biru, bahkan burung-burung lautpun ikut bernyanyi laksana sebuah orkestra yang sedang tampil.
Nanda memperhatikan ayahnya, ia melihat jaring-jaring yang penuh dengan ikan-ikan kecil, ia sadar bahwa ikan-ikan dijaring itu telah hilang. Namun ayahnya masih saja berkelut dengan jaring-jaring yang sudah bertumpuk dipangkuan ayahnya. Ia sadar bahwa ayahnya sedang membersihkan sampah-sampah yang ada pada jaring ikan. Matanya fokus pada sampah-sampah yang menempel dijaring ayahnya. Sesekali diambilnya sampah itu lalu ditaruhnya ke dalam ember kosong di dekat Nanda. “Kok ayah nyimpen sampah sih ?” tanya Nanda pelan dengan suara lemas, ia masih kesal dengan ledekan ayahnya tadi. Namun rasa penasaran itu membuatnya membongkar rasa keinginannya.
“Ayah nggak nyimpen sampah kok Nda,” jawab ayahnya yang masih fokus dengan jaring-jaringnya.
“Itu buktinya ayah tarok di ember, berarti nyimpen kan,” balas Nanda dengan lugunya, sambil memandang jeli sampah-sampah itu, pikirnya mungkin ada sesuatu pada sampah itu.
Ayahnya hanya tersenyum, ia masih saja melepaskan kaleng bekas, plastik bekas makanan ringan, bahkan rumput-rumputan dari jaring-jaringnya. Tak lama ia menggeserkan jaring yang berukuran besar dari pangkuannya. Ia mendekati Nanda seolah hendak menginterogasi, matanya menatap Nanda. “Nda, kalo ada orang yang buang sampah di rumah kita, kamu marah nggak ?” tanya ayahnya serius.
“Marah dong yah,” jawab Nanda tegas.
“Nah, sama kayak laut Nda, kalo nggak kita jagain yang punya bakalan marah, terus kita nggak dikasih ikan lagi,”
“Tapi kan yah, bersiin sampah bukan tugas ayah,”
“Ya nggak apa-apa dong, gini aja, misalnya ada sampah di halaman rumah kita, terus ada orang yang bersiin, Nanda seneng nggak ?” tanya Ayahnya senyum sambil memegang kepala Nanda.
“Seneng dong yah,”
“Nah, sama aja kayak laut ini, yang punya juga bakal seneng, buktinya ayah dikasih ikan yang nggak abis-abis,” sambung ayahnya, ia mengajak Nanda menatap laut biru bening, ombak kecil nan menawan, serta suara gemercik air mengenai perahu kecil.
“Yah, tapi kok banyak banget ya sampahnya, padahal Nanda kalo buang sampah Cuma sedikit,” tanya Nanda penasaran, wajahnya mendongak menatap ayahnya yang sedang memeluknya.
“Waduh, anak ayah kok buatng sampah sembarangan sih,”
“Tapi Cuma satu kok yah,” keluh Nanda,
“Nanda..” ucap ayahnya pelan, ia membalikan tubuh Nanda, tangan kerasnya yang terbalut sarung tangan putih memegang bahu Nanda yang masih kecil. Ia melanjutkan ucapan halusnya. “Iya Nanda buang satu sampah, tapi kalo satu milyar orang di dunia ini ngomong kayak Nanda, wah bakalan penuh laut kita. Terus kita nggak bakalan dapet ikan lagi.”
Nanda memperhatikan seksama ucapan ayahnya, ia berkelut dalam hati, meskipun masih berusia muda, ia tahu akibat yang terjadi jika lautan yang penuh dengan ikan yang ayahnya cari berubah jadi sampah.”Nah, tapi kalo Nanda nggak buang sampah meskipun cuma satu, maka satu milyar orang yang punya prinsip kayak Nanda juga, laut kita juga akan bersih.” Lanjut ayahnya, ia tersenyum melihat anaknya diam memperhatikan ia bicara.
“Oke deh Yah, mulai sekarang Nanda nggak bakalan buang sampah di laut lagi, meskipun Cuma bungkus ciki,” ucap Nanda tegas, ia tersenyum kecil, bibirnya sedikit maju ke depan, ia kembali manja dengan ayahnya, ia lupa jika sebelumnya telah kesal dengan ayahnya.
“Nah gitu dong, tapi jangan di laut aja, di rumah, di darat, pokoknya dimanapun, Nanda nggak boleh buang sampah sembarangan ya,”
“Oke yah, pasti itu,” jawab Nanda keras, ia kembali berbalik badan, ia mendekati jaring di sebelahnya, ia punguti sampah-sampah kecil yang masih nyangkut di rongga-rongga jaring.
Terjangan angin membawa perahu kecil mengalir mengikuti ombak menuju hunian kecil yang mulai kelihatan, burung-burung camar yang singgah di laut untuk mengambil nafkahnya menemani background sebuah perjalan kecil antara ayah dan anak. Suara riang gemuruh tawa dari penduduk kecil di pantai mulai terdengar, seorang wanita tua duduk di beranda rumah, menyapi beras yang hendak dimasak, ia tersenyum melihat perahu kecil sudah tiba.
*****
0 komentar:
Posting Komentar