Rintikan
air awan makin mengecil, namun enggan untuk berhenti, sebuah tapakan sepatu
kotorku melekat keras, mengecap di permukaan sebuah beranda kecil di
laboratorium Jurusan Teknik Kimia, angin sejuk nan dingin mengawali sore
menjelang malamku, menemani gerimis yang belum menyerah menyampaikan salamnya
pada bumi. Cahaya bohlam kecil yang menempel di kaca dinding tepat di atasku
ikut meramaikan suasana dinginku, seolah tak mau kalah, suara desingan air yang
jatuh mengenai kantong kresek juga meramaikan sepiku saat itu. entah merasa
senang atau sedikit takut, suasana sore menjelang malam kala itu memang agak
menyeramkan. Senja yang mulai tertutup awan hitam ikut menjadi saksi biksu
keadaanku saat itu.
Aku
tetap menunggu rintikan hujan yang enggan untuk berhenti, ingin rasanya
berperang melawan rasa basah akibat rintikan hujan, namun aku terpikir
kertas-kertas berharga yang ada di dalam tasku, beberapa proposal penelitian
bahkan tugas dari dosen kiler ada di dalamnya. Hingga membuat urung niatku
untuk segera pergi. Keadaan sudah semakin gelap, namun gerimis tak kunjung
reda, aku bergumam sendiri, menghilangkan kesepian
suasana di belakang
laboratorium yang sering dipakai oleh anak-anak jurusan teknik kimia.”Huuuufft,
dingin bener, cuaca udah gelap, mana nih gerimis nggak berhenti,”
Terkadang
untuk menemani sepi sunyi yang agak mencekam, aku bersiul kecil, kadang juga
bernyanyi-nanyi, setidaknya rasa takut yang akan timbul tak kunjung datang.
Hampir
sekian lama aku menunggu, entah ada perasaan apa, tapi aku merasa bahwa di
ujung lorong dekat pintu masuk lab ini ada sebuah kilatan bayangan yang
melintas, hilang entah kemana. Aku kaget, aku sedikit berucap, tubuhku mulai
bergetar, siulan bahkan nyanyian yang tadinya menemaniku kini segera singgah
dari lidahku. Keringat yang seharusnya muncul disaat panas, kini telah hadir
satu persatu. Aku hanya berucap dalam hati, apa gerangan yang barusan bergerak.
Aku ingin berlari, namun karena masih teringat dengan kertas-kertas penting
yang ada di tas, aku hanya bisa menahan nafas, menutup mata, berbalik arah,
enggan untuk melihatnya.
Aku
hendak mengambil handphone dari saku celana, namun aku teringat saat itu
baterai yang kugunakan sedang lowbat, akupun mengurungkan niatku, aku
teringat saat di kelas tadi teman-temanku berubah drastis, bahkan saat baterai handphone-ku
akan habis, mereka tidak mempedulikanku sama sekali. Sedikit kesal sih, tapi
mungkin saat itu mood mereka lagi nggak enakan aja. Tapi aku masih kesal,
kenapa harus sekelas sih yang nggak peduli. Sebuah suara batu jatuh di depanku,
menghakhiri lamunanku, kaget disertai takut membuat tubuhku menjauh dari batu
yang terpantul mengenai sepatu kotorku akibat terkena cipratan air. Aku semakin
takut, ingin rasanya teriak keras-keras, namun nanti yang tejadi malah satpam
kampusku yang datang, akibatnya nanti aku yang malah dipermalukan. Mengingat
hal tersebut untuk kedua kalinya aku meng-urungkan niatku untuk
melakukan hal yang konyol.
“Apa
lagi ini,” ucapku kecil.
Aku
menundukan kepala mengambil sebuah batu yang barusan terjatuh di depanku, aku
mengamatinya secara seksama, mungkin dibatu itu terdapat sebuah tulsan yang
bagus, mengingat saat ini memang sedang musim batu akik, tapi yang ada batu itu
mirip seperti batu koral bahkan memang batu koral, tidak ada istimewanya.
Pikiranku mulai menggambarkan sifat horor, apakah mungkin ada makhluk halus
yang jail atau hal lain. Entah kenapa aku langsung berkata keras.”Oi, siapa
yang melempar batu ini,” aku mengalihkan pikiran anehku, dan berharap ada orang
yang jail yang sedang mengerjaiku.
“Oi,
jawab kenapa,” bentakku sekali lagi.
Saat
suaraku bergema sekali lagi, entah kenapa, cahaya remang-remang lampu yang
menemaniku berdiri menanti kepergian gerimis yang mengundang misteri, mati
tanpa memberikan isyarat sedikitpun. Aku terdiam, tidak bisa berkata sekata
patahpun, aku bahkan tidak terlalu jelas memandang ke depan, aku bergeser
perlahan, mencari jalan kecil agar bisa keluar dari beranda belakang lab
jurusan teknik kimia. Batu-batu besar yang hanya kutemui, tak ada yang beda.
Aku berhenti sejenak, menahan rasa takut. Pikiranku mulai tak karuan, saat
kakiku meraba-raba jalan, bahuku ditepak oleh seseorang. “Aaaa, siapa ?”
teriakku kaget.
“Hei
hei tenang, ini bapak yang jaga lab teknik kimia,” jawab lelaki tua yang
memiliki suara serak, ia masih memasang tangannya dibahuku, ia menggenggam
sedikit, mengajakku untuk keluar dari suasana suram yang begitu mencekam.
“Sini, ikut bapak,” sapanya.
Aku
yang bingung ketakutan menurut saja apa yang disarankan oleh bapak itu,
tangannya perlahan melepas pundakku, aku mengikuti suara sepatunya melangkah,
saat itu suasana begitu gelap hingga aku tidak bisa melihat begitu jelas wajah
bapak itu. karena penglihatanku berubah jalur di mata kaki, aku tidak tau ada
tali tersangkut disepatuku, aku menghentikan langkah, melepas tali yang
mengganggu, saat hendak melanjutkan langkah lagi aku tidak bisa melihat kemana
bapak itu pergi, bahkan suara sepatunya telah hilang. “Pak, pak,” ucapku.
“Bapak
dimana ?” tanyaku sekali lagi, mataku memandang kedepan, tetapi yang ada malah
pohon-pohon besar yang menghiasi taman belakang lab tersebut, tak ada
tanda-tanda seseorang yang lewat atau bahkan bayangan sekalipun. Aku berhenti
bergerak, tidak mau ambil resiko. sesaat kemudian aku mendengar suara pijakan
kaki yang mengenai dedaunan, perasaanku berkata bahwa itu adalah suara langkah
kaki bapak tadi. Semakin lama suara pijakan itu mendendang telingaku, ada yang
salah, suara itu seperti dari pijakan lebih dari dua kaki. Aku semakin curiga,
tepat dugaanku, seekor anjing berjalan perlahan, didengar dari suara pijakan
dedaunan yang mengenai kakinya, anjing itu mengarah padaku.
Aku
berjalan perlahan kebelakang, menolak kedatangan anjing hitam penjaga kampusku,
ia seperti tak menghiraukanku. Celaka sudah, gonggongan kerasnya telah keluar
dari mulut ganasnya. Ia menggonggong semakin keras sambil berjalan ke arahku.
Dengan sigap aku mengambil kerikil-kerikil kecil yang ada disekitarku. “Hus hus
hus,” ucapku sambil melempar kerikil-kerikil itu ke arah anjing yang tengah
menggonggong dengan keras. Aku semakin putus asa saat melihat anjing itu tidak
singgah juga dari tempatku, aku terduduk, meraba-raba belakang sekitarku hingga
kayu panjang menempel di tanganku, secepat kilat kusingkapkan kayu keras yang
agak panjang ke arah anjing itu hingga membuatnya menyerah untuk mendekatiku.
Aku
terduduk lemas, kadang kesal dengan gerimis yang masih menghiasi atau bahkan
tak mempedulikanku. Ku tarik kakiku, kepala kutundukan, melamuni sekitarku.
Entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres, rasa takut makin menjadi-jadi.
Aku ingin teriak layaknya seorang perempuan, ingin berlari namun tak kuasa.
Terlalu lama tenggelam dalam kesendirian hingga membuatku berhalusinasi, aku
merasi bahwa ada suara orang, bukan bahkan seperti orang-orang yang datang ke
arahku. Suara itu makin ramai dan makin dekat, namun aku tak berani mengangkat
kepala, aku masih tertunduk tak pedulikan halusinasi atau bahkan memang
kenyataan.
“Prak,”
suara benda pecah yang mengenai kepalaku, aku kaget, namun kepalaku masih
tertunduk, aku merasakan sakit sesaat, sebuah lendir tiba-tiba mengalir di
sekitar wajahku, aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Ataukah bumi saat ini
sedang diserang alien atau monster, memmbuat diriku tak peduli apa yang
terjadi. Tanganku meraba lendir yang lengket, ingin kucium di dalam tundukan
kepala.”Prak,” sekali lagi bunyi benda itu mengenai kepalaku, aku kesal namun
tak berani mengangkat wajah.
Karena
penasaran makin meluap, aku perlahan mengangkat kepala yang tertutup tanganku,
sebuah bayangan semakin terlihat, ada sinar kecil. tunggu, bahkan di depanku
sudah ada puluhan kaki menantang, tanganku ingin meraba sesuatu, berharap
menemukan senjata untuk melawan mereka. Sebuah benda pecahan yang mengenai
kepalaku tadi tertangkap tanganku, aku sadar bunyi benda yang mengenai kepalaku
ini, sekali lagi aku meraba lendir yang masih menempel di wajahku, kucium,
tepat dugaanku, benda yang mereka lempar adalah telur. Cepat-cepat aku angkat
kepalaku menatap mereka, sedikit air mata mulai mengalir.
“Happy
birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy
birthday Deni,” suara mengalir keras di depanku, aku tak menyangka semua
ketakutan ini berubah menjadi rasa haru, ternyata teman-teman yang kukira telah
membenciku mereka begitu perhatian denganku. Kue ulang tahun telah menanti di
hadapanku, sebuah lilin berbentuk angka 20 dengan api kecil, disekitarnya
terdapat tulisan selamat ulang tahun deni.
“Nah
Den, sekali lagi,” ucap salah seorang temanku yang bernama Alan sambil melempar
telur, kali ini tepat mengenai wajahku. Aku bangkit, ingin marah, kesal,
sekaligus benci namun semua sudah tertahan tembok kasih sayang. “Jadi kalian ya
yang ngerjain aku dari tadi,”
“Gimana
Den, masih takut atau mau nangis lagi nggak,” ledek temanku Putri, ia mengambil
handphone-nya sambil memotretku yang sudah mandi telur.
“Jadi
kalian ya yang matiin lampu,” tanyaku kesal.
“Hehehe,
iya den. Tadi kami minta tolong sama bapak yang jaga lab ini biar jangan di
tutup dulu. Kalo kamu mau tau, kami dari tadi ada di dalam lab ini, tepat di
belakang kamu Den,” jawab temanku Billy sambil tertawa kecil.
“Sialan
kamu Bil, terus siapa yang melempar batu,” tanyaku lagi.
“Nah
kalo itu ulah si Fani,” jawab Billy menunjuk ke arah Fani. “Loh, mana Fani
tadi,”
“Dia
lagi ngidupin lampu,” sambung Vika, cewek yang sedang membawa kue.
“Oh
ya den, kalo anjing tadi sebenarnya bukan bagian dari rencana, soalnya tadi
satpam kampus kita heran kok Cuma lab ini yang mati lampu, makanya dia kesini
sambil bawa anjing.” Sambung temanku Adin.
“Iya
den, untung si Alan cepet-cepet nemuin tuh satpam buat ngasih tau, eh tapi
anjingnya malah lepas,” ucap temanku Nipo sambil mendekatiku.
“Wah
gila, hampir saja tadi aku digigit,”
“Hahaha,
yang pentingkan sekarang kamu selamat,” sambung temanku Agung sambil merangkul
pundakku untuk pergi dari tempat yang agak menyeramkan itu. “Nah lampunya sudah
hidup, sekarang kita tiup lilin dulu, biar yang lain bisa cepet pulang, soalnya
udah malem,”
Akhirnya
angin ketegangan sore itu sudah reda, meskipun gerimis rintik-rintik masih
mngalir dari atas, semuanya terasa nyaman. Aku tidak mempedulikan lagi isi
dalam tasku, aku sudah terlanjur bahagia dengan perhatian teman-temanku. Mereka
pulang kerumahnya, setelah mengambil beberapa kue dan poto dariku. Saat ini aku
diajak Alan untuk pulang dengan dia, melihat keadaanku yang sekarang dia begitu
kasian.
“Ayo
Den pulang,” ajak Alan sambil menghidupkan motornya.
“Oh
iya Lan, aku lupa satu hal,” tanyaku sebelum menaiki motor Alan.
“Apa
Den ?”
“Kalian
tadi kerja sama dengan seorang bapak nggak ya ?”
“Iya,
tapi dia di dalem lab terus, mungkin takut kalo kita ngambil barang-barang di
lab.”
“Di
dalem terus ?” tanyaku sekali lagi, wajahku nampak kaget, hatiku berkata terus
siapa yang megang pundakku tadi, atau mungkin itu adalah makhluk halus. Wajah
senangpun kini berubah menjadi sedikit pucat.
“Ada
apa Den ?” tanya Alan sedikit penasaran.
“Tadi ada bapak-bapak yang nunukin
jalan pas kalian matiin lampu,” jawabku,
“Sudah ah, mentang-mentang Pak
Yono meninggal kamu jadi ngelantur kayak gini, cepat naik” ucap Alan.
Aku terdiam sambil naik ke motor
Alan, dalam perjalan pulangpun aku masih mencampur adukkan antara rasa senang
dan takut. Tapi biarlah, mungkin itu adalah sebuah peringatan kecil atau hal lain.
Yang penting saat ini aku bahagia punya teman yang sangat peduli denganku.
******************
0 komentar:
Posting Komentar