Jumat, 21 Agustus 2015

Setetes Misteri

0


            Rintikan air awan makin mengecil, namun enggan untuk berhenti, sebuah tapakan sepatu kotorku melekat keras, mengecap di permukaan sebuah beranda kecil di laboratorium Jurusan Teknik Kimia, angin sejuk nan dingin mengawali sore menjelang malamku, menemani gerimis yang belum menyerah menyampaikan salamnya pada bumi. Cahaya bohlam kecil yang menempel di kaca dinding tepat di atasku ikut meramaikan suasana dinginku, seolah tak mau kalah, suara desingan air yang jatuh mengenai kantong kresek juga meramaikan sepiku saat itu. entah merasa senang atau sedikit takut, suasana sore menjelang malam kala itu memang agak menyeramkan. Senja yang mulai tertutup awan hitam ikut menjadi saksi biksu keadaanku saat itu.
            Aku tetap menunggu rintikan hujan yang enggan untuk berhenti, ingin rasanya berperang melawan rasa basah akibat rintikan hujan, namun aku terpikir kertas-kertas berharga yang ada di dalam tasku, beberapa proposal penelitian bahkan tugas dari dosen kiler ada di dalamnya. Hingga membuat urung niatku untuk segera pergi. Keadaan sudah semakin gelap, namun gerimis tak kunjung reda, aku bergumam sendiri, menghilangkan kesepian
suasana di belakang laboratorium yang sering dipakai oleh anak-anak jurusan teknik kimia.”Huuuufft, dingin bener, cuaca udah gelap, mana nih gerimis nggak berhenti,”
            Terkadang untuk menemani sepi sunyi yang agak mencekam, aku bersiul kecil, kadang juga bernyanyi-nanyi, setidaknya rasa takut yang akan timbul tak kunjung datang.
            Hampir sekian lama aku menunggu, entah ada perasaan apa, tapi aku merasa bahwa di ujung lorong dekat pintu masuk lab ini ada sebuah kilatan bayangan yang melintas, hilang entah kemana. Aku kaget, aku sedikit berucap, tubuhku mulai bergetar, siulan bahkan nyanyian yang tadinya menemaniku kini segera singgah dari lidahku. Keringat yang seharusnya muncul disaat panas, kini telah hadir satu persatu. Aku hanya berucap dalam hati, apa gerangan yang barusan bergerak. Aku ingin berlari, namun karena masih teringat dengan kertas-kertas penting yang ada di tas, aku hanya bisa menahan nafas, menutup mata, berbalik arah, enggan untuk melihatnya.
            Aku hendak mengambil handphone dari saku celana, namun aku teringat saat itu baterai yang kugunakan sedang lowbat, akupun mengurungkan niatku, aku teringat saat di kelas tadi teman-temanku berubah drastis, bahkan saat baterai handphone-ku akan habis, mereka tidak mempedulikanku sama sekali. Sedikit kesal sih, tapi mungkin saat itu mood mereka lagi nggak enakan aja. Tapi aku masih kesal, kenapa harus sekelas sih yang nggak peduli. Sebuah suara batu jatuh di depanku, menghakhiri lamunanku, kaget disertai takut membuat tubuhku menjauh dari batu yang terpantul mengenai sepatu kotorku akibat terkena cipratan air. Aku semakin takut, ingin rasanya teriak keras-keras, namun nanti yang tejadi malah satpam kampusku yang datang, akibatnya nanti aku yang malah dipermalukan. Mengingat hal tersebut untuk kedua kalinya aku meng-urungkan niatku untuk melakukan hal yang konyol.
            “Apa lagi ini,” ucapku kecil.
            Aku menundukan kepala mengambil sebuah batu yang barusan terjatuh di depanku, aku mengamatinya secara seksama, mungkin dibatu itu terdapat sebuah tulsan yang bagus, mengingat saat ini memang sedang musim batu akik, tapi yang ada batu itu mirip seperti batu koral bahkan memang batu koral, tidak ada istimewanya. Pikiranku mulai menggambarkan sifat horor, apakah mungkin ada makhluk halus yang jail atau hal lain. Entah kenapa aku langsung berkata keras.”Oi, siapa yang melempar batu ini,” aku mengalihkan pikiran anehku, dan berharap ada orang yang jail yang sedang mengerjaiku.
            “Oi, jawab kenapa,” bentakku sekali lagi.
            Saat suaraku bergema sekali lagi, entah kenapa, cahaya remang-remang lampu yang menemaniku berdiri menanti kepergian gerimis yang mengundang misteri, mati tanpa memberikan isyarat sedikitpun. Aku terdiam, tidak bisa berkata sekata patahpun, aku bahkan tidak terlalu jelas memandang ke depan, aku bergeser perlahan, mencari jalan kecil agar bisa keluar dari beranda belakang lab jurusan teknik kimia. Batu-batu besar yang hanya kutemui, tak ada yang beda. Aku berhenti sejenak, menahan rasa takut. Pikiranku mulai tak karuan, saat kakiku meraba-raba jalan, bahuku ditepak oleh seseorang. “Aaaa, siapa ?” teriakku kaget.
            “Hei hei tenang, ini bapak yang jaga lab teknik kimia,” jawab lelaki tua yang memiliki suara serak, ia masih memasang tangannya dibahuku, ia menggenggam sedikit, mengajakku untuk keluar dari suasana suram yang begitu mencekam. “Sini, ikut bapak,” sapanya.
            Aku yang bingung ketakutan menurut saja apa yang disarankan oleh bapak itu, tangannya perlahan melepas pundakku, aku mengikuti suara sepatunya melangkah, saat itu suasana begitu gelap hingga aku tidak bisa melihat begitu jelas wajah bapak itu. karena penglihatanku berubah jalur di mata kaki, aku tidak tau ada tali tersangkut disepatuku, aku menghentikan langkah, melepas tali yang mengganggu, saat hendak melanjutkan langkah lagi aku tidak bisa melihat kemana bapak itu pergi, bahkan suara sepatunya telah hilang. “Pak, pak,” ucapku.
            “Bapak dimana ?” tanyaku sekali lagi, mataku memandang kedepan, tetapi yang ada malah pohon-pohon besar yang menghiasi taman belakang lab tersebut, tak ada tanda-tanda seseorang yang lewat atau bahkan bayangan sekalipun. Aku berhenti bergerak, tidak mau ambil resiko. sesaat kemudian aku mendengar suara pijakan kaki yang mengenai dedaunan, perasaanku berkata bahwa itu adalah suara langkah kaki bapak tadi. Semakin lama suara pijakan itu mendendang telingaku, ada yang salah, suara itu seperti dari pijakan lebih dari dua kaki. Aku semakin curiga, tepat dugaanku, seekor anjing berjalan perlahan, didengar dari suara pijakan dedaunan yang mengenai kakinya, anjing itu mengarah padaku.
            Aku berjalan perlahan kebelakang, menolak kedatangan anjing hitam penjaga kampusku, ia seperti tak menghiraukanku. Celaka sudah, gonggongan kerasnya telah keluar dari mulut ganasnya. Ia menggonggong semakin keras sambil berjalan ke arahku. Dengan sigap aku mengambil kerikil-kerikil kecil yang ada disekitarku. “Hus hus hus,” ucapku sambil melempar kerikil-kerikil itu ke arah anjing yang tengah menggonggong dengan keras. Aku semakin putus asa saat melihat anjing itu tidak singgah juga dari tempatku, aku terduduk, meraba-raba belakang sekitarku hingga kayu panjang menempel di tanganku, secepat kilat kusingkapkan kayu keras yang agak panjang ke arah anjing itu hingga membuatnya menyerah untuk mendekatiku.
            Aku terduduk lemas, kadang kesal dengan gerimis yang masih menghiasi atau bahkan tak mempedulikanku. Ku tarik kakiku, kepala kutundukan, melamuni sekitarku. Entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres, rasa takut makin menjadi-jadi. Aku ingin teriak layaknya seorang perempuan, ingin berlari namun tak kuasa. Terlalu lama tenggelam dalam kesendirian hingga membuatku berhalusinasi, aku merasi bahwa ada suara orang, bukan bahkan seperti orang-orang yang datang ke arahku. Suara itu makin ramai dan makin dekat, namun aku tak berani mengangkat kepala, aku masih tertunduk tak pedulikan halusinasi atau bahkan memang kenyataan.
            “Prak,” suara benda pecah yang mengenai kepalaku, aku kaget, namun kepalaku masih tertunduk, aku merasakan sakit sesaat, sebuah lendir tiba-tiba mengalir di sekitar wajahku, aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Ataukah bumi saat ini sedang diserang alien atau monster, memmbuat diriku tak peduli apa yang terjadi. Tanganku meraba lendir yang lengket, ingin kucium di dalam tundukan kepala.”Prak,” sekali lagi bunyi benda itu mengenai kepalaku, aku kesal namun tak berani mengangkat wajah.
            Karena penasaran makin meluap, aku perlahan mengangkat kepala yang tertutup tanganku, sebuah bayangan semakin terlihat, ada sinar kecil. tunggu, bahkan di depanku sudah ada puluhan kaki menantang, tanganku ingin meraba sesuatu, berharap menemukan senjata untuk melawan mereka. Sebuah benda pecahan yang mengenai kepalaku tadi tertangkap tanganku, aku sadar bunyi benda yang mengenai kepalaku ini, sekali lagi aku meraba lendir yang masih menempel di wajahku, kucium, tepat dugaanku, benda yang mereka lempar adalah telur. Cepat-cepat aku angkat kepalaku menatap mereka, sedikit air mata mulai mengalir.
            “Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday Deni,” suara mengalir keras di depanku, aku tak menyangka semua ketakutan ini berubah menjadi rasa haru, ternyata teman-teman yang kukira telah membenciku mereka begitu perhatian denganku. Kue ulang tahun telah menanti di hadapanku, sebuah lilin berbentuk angka 20 dengan api kecil, disekitarnya terdapat tulisan selamat ulang tahun deni.
            “Nah Den, sekali lagi,” ucap salah seorang temanku yang bernama Alan sambil melempar telur, kali ini tepat mengenai wajahku. Aku bangkit, ingin marah, kesal, sekaligus benci namun semua sudah tertahan tembok kasih sayang. “Jadi kalian ya yang ngerjain aku dari tadi,”
            “Gimana Den, masih takut atau mau nangis lagi nggak,” ledek temanku Putri, ia mengambil handphone-nya sambil memotretku yang sudah mandi telur.
            “Jadi kalian ya yang matiin lampu,” tanyaku kesal.
            “Hehehe, iya den. Tadi kami minta tolong sama bapak yang jaga lab ini biar jangan di tutup dulu. Kalo kamu mau tau, kami dari tadi ada di dalam lab ini, tepat di belakang kamu Den,” jawab temanku Billy sambil tertawa kecil.
            “Sialan kamu Bil, terus siapa yang melempar batu,” tanyaku lagi.
            “Nah kalo itu ulah si Fani,” jawab Billy menunjuk ke arah Fani. “Loh, mana Fani tadi,”
            “Dia lagi ngidupin lampu,” sambung Vika, cewek yang sedang membawa kue.
            “Oh ya den, kalo anjing tadi sebenarnya bukan bagian dari rencana, soalnya tadi satpam kampus kita heran kok Cuma lab ini yang mati lampu, makanya dia kesini sambil bawa anjing.” Sambung temanku Adin.
            “Iya den, untung si Alan cepet-cepet nemuin tuh satpam buat ngasih tau, eh tapi anjingnya malah lepas,” ucap temanku Nipo sambil mendekatiku.
            “Wah gila, hampir saja tadi aku digigit,”
            “Hahaha, yang pentingkan sekarang kamu selamat,” sambung temanku Agung sambil merangkul pundakku untuk pergi dari tempat yang agak menyeramkan itu. “Nah lampunya sudah hidup, sekarang kita tiup lilin dulu, biar yang lain bisa cepet pulang, soalnya udah malem,”
            Akhirnya angin ketegangan sore itu sudah reda, meskipun gerimis rintik-rintik masih mngalir dari atas, semuanya terasa nyaman. Aku tidak mempedulikan lagi isi dalam tasku, aku sudah terlanjur bahagia dengan perhatian teman-temanku. Mereka pulang kerumahnya, setelah mengambil beberapa kue dan poto dariku. Saat ini aku diajak Alan untuk pulang dengan dia, melihat keadaanku yang sekarang dia begitu kasian.
            “Ayo Den pulang,” ajak Alan sambil menghidupkan motornya.
            “Oh iya Lan, aku lupa satu hal,” tanyaku sebelum menaiki motor Alan.
            “Apa Den ?”
            “Kalian tadi kerja sama dengan seorang bapak nggak ya ?”
            “Iya, tapi dia di dalem lab terus, mungkin takut kalo kita ngambil barang-barang di lab.”
            “Di dalem terus ?” tanyaku sekali lagi, wajahku nampak kaget, hatiku berkata terus siapa yang megang pundakku tadi, atau mungkin itu adalah makhluk halus. Wajah senangpun kini berubah menjadi sedikit pucat.
            “Ada apa Den ?” tanya Alan sedikit penasaran.
“Tadi ada bapak-bapak yang nunukin jalan pas kalian matiin lampu,” jawabku,
“Sudah ah, mentang-mentang Pak Yono meninggal kamu jadi ngelantur kayak gini, cepat naik” ucap Alan.
Aku terdiam sambil naik ke motor Alan, dalam perjalan pulangpun aku masih mencampur adukkan antara rasa senang dan takut. Tapi biarlah, mungkin itu adalah sebuah peringatan kecil atau hal lain. Yang penting saat ini aku bahagia punya teman yang sangat peduli denganku.



******************

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com