“Teng, teng, teng....” lonceng di sudut koridor, dekat dengan arah kantin sekolah telah berdentang. Menandakan pelajaran untuk anak-anak SD Tekun Jaya mengakhiri jam belajarnya. Koridor yang semula sunyi sepi kini telah terisi oleh barisan siswa yang sedang mengistirahatkan pikirannya, ada yang ke kantin, bermain di lapangan, dan ada yang masih tetap belajar membaca buku di depan kelas. Di kelas 4C, guru yang mengajar sedang membereskan buku-bukunya, ia fokus merapikan kertas-kertas yang ada di mejanya, kaca mata membantunya menyusun kertas-kertas siswanya. “Prankk...” suara kaca jendela tertutup kencang, membuat guru di kelas kaget, matanya tajam melihat jendela yang tersentak kuat, ia melihat seorang anak kecil berlari di luar, cepat, lalu naik pagar yang tidak terlalu tinggi. Hingga anak kecil itu tidak terlihat lagi.
Bapak guru yang teralihkan oleh suara keras dari kaca yang diakibatkan oleh anak kecil, kembali menyusun kertas-kertas di depannya. Wajahnya
Angin pagi itu cukup sejuk, burung-burung gereja menemani para siswa bermain di lapangan, ada yang bermain bola kaki, kejar-kejaran, ada juga yang bermain petak umpet. Di kantin, para siswa sedang asyik minum es, makan makanan ringan, makan mi, dan lain sebagainya. Pak guru yang bernama Umar, segera keluar dari ruang guru, berjalan cepat keluar sekolah, meninggalkan aktivitas sekolah. Ia bergegas, langkahnya melewati setapak jalan tanah, rumput-rumput kecil nan hijau turut menghiasi jalanan desa tempat Pak Umar tinggal. Langkahnya terhenti saat ia berada di depan sebuah rumah gubuk tua, dindingnya masih terbuat dari pelepah bambu yang disulam, atapnya dari potongan daun kelapa. Di terasnya terdapat sebuah gerobak, di dalaamnya ada sayur-sayuran, mentimun, sebuah toples dengan kerupuk merah di dalamnya, Sebuah ulekan besar juga ada di sana. Di kaca depan gerobak itu ada kertas bertuliskan sedia pecel. Ya, gerobak itu menjual pecel, di bagian belakang gerobak itu ada ibu tua sedang duduk santai, tangannya mengibakkan kipas dari bambunya, kepalanya tertutup kain ala wanita jawa zaman dahulu, kain panjang menghiasi tubuhnya.
Pak Umar mendekati ibu-ibu setengah tua yang sedang asyik santai, “Mbok Imah,” sapa Pak Umar, mendekati Mbok Imah yang sedang asyik.
“Pak Umar, mau pesen pecel ya ?” tanya Mbok Imah berdiri membalas sapaan Pak Umar, ia mendekati gerobaknya.
“Iya, seperti biasa Mbok,” jawab Pak Umar, ia lalu duduk di kursi merah yang ada di sebelah gerobak, matanya melirik ke arah dalam rumah, terkadang ke samping, sesekali ia melihat jam tangannya.
Mbok Imah melihat tingkah Pak Umar ia tersenyum, tangannya sedang mengulek kacang yang akan dijadikan pecel. “Dimasnya tadi langsung pergi,” ceplos Mbok Imah.
“Oh, emang kemana Mbok ?” tanya Pak Umar,
“Nggak tau tuh Pak, tadi sebelum pergi dia sempat bergumam 'akhirnya uang saya sudah terkumpul 25.000.'” Jawab Bu Imah sambil meracik sayur-sayuran. “Oh ya Pak, apa dia mengganggu saat belajar tadi ?” tanya Mbok Imah balik.
“Nggak kok Mbok, tapi saya tadi heran aja, kenapa dia kok tiba-tiba lari, nggak seperti biasanya,”
“Iya, dia aja tadi nggak makan dulu,” sambung Mbok Imah.
“Mbok, tumben jualanannya sedikit,”
“Iya Pak, nanti malem mau syukuran sama Dimas,”
“Syukuran apa Mbok ?” tanya Pak Umar lebih detail, ia berdiri, mendekati Mbok Imah menggiling bumbu pecel.
“Hari ini kan tepat seminggu tragedi longsor,”
“Oh iya, kalau nggak salah orang tua Dimas juga korban longsor itu ya Mbok,”
“Iya Pak,”
“Mbok, saya titip aja dulu ya pecelnya, nanti saya kemari lagi,” ucap Pak Umar.
“Memangnya ada apa Pak ?” tanya Mbok Imah bingung.
“Saya rencananya mau ngajak Dimas jalan-jalan aja Mbok, biar dia nggak sedih lagi.” Jawab Pak Umar. Ia bangkit, mengambil langkah cepatnya. Berlari keluar dari pekarangan rumah Mbok Imah.
“Oh jadi gitu ya,” jawab Mbok Imah, matanya mengintip dari kaca gerobak pecelnya.
Tepat di perempatan jalan, Pak Umar melihat Dimas berlari kecil menuju ke suatu tempat, tangannya membawa sebuah buku yang dibalut plastik putih. Pak Umar segera menyusulnya. Namun matanya terhenti, kakinya berhenti berpijak, jantungnya berhenti berdetak, ia gemetar melangahkan kakinya. Ia menyadari Dimas memasuki taman pemakaman umum. Ia cepat mengejar Dimas, ia sembunyi di belakang pohon besar, tepat di depan Dimas duduk menghentikan langkahnya.
Dimas duduk diantara dua makam, ia berkeluh. “Ayah, Ibu.” Ucap Dimas sedikit lesu, ia mengeluarkan buku yang ada di kantong tersebut.
“Dimas sudah beli bukunya, sekarang Dimas yang gantian bacain dongengnya ya..” Ia membuka lembaran-lembaran kertas pada buku itu, air matanya sedikit demi sedikit menetes membasahi pipinya. Angin di pemakaman mengalihkan kesedihannya, burung-burung bersiul pelan pertanda memperhatikan Dimas bicara, awan putih menahan Dimas dari teriknya panas matahari. Di balik pohon, Pak Umar menahan tangisnya, meskipun air matanya tak sanggup untuk dihentikan. Ia sadar bahwa uang 25.000 yang ceritakan oleh Mbok Imah adalah uang yang dikumpulkan Dimas untuk membeli sebuah buku yang mau dibacakan olehnya di makam kedua orang tuanya.
“Ayah..
Ibu.., Dimas kangen dengan kalian..” teriak Dimas, ia tergeletak, jatuh di
antara kedua makam orang tuanya. Pak Umar berjalan pelan mendekati Dimas, ia
duduk. Menaruh kepala Dimas di kedua pangkuannya.. Dimas tetap menangis, air
matanya membasahi celana Pak Umar.
0 komentar:
Posting Komentar