Keadaan makin sunyi. Tangan-tangan gratil, leher yang kadang berpegas sendiri, berputar layaknya burung hantu yang menjaga malam, pupil mata yang membesar dengan sendirinya, kadang-kadang fokus pada kertas-kertas di meja lain, kini keramaian itu telah sirna, hilang tanpa jejak, hilang tak peduli. Guru yang kembali dari toilet memberikan aba-aba peringatan kepada semua siswa di ruang kelas yang tengah melaksanakan kuis pelajaran akuntansi. Ruang yang tadinya penuh dengan keindahan di pantai eksotis, bunga di pojok ruangan yang menghiasi bagai alam sejuk, poto-poto yang terpajang di dinding bagai laksana penjaga yang mengamankan santai bersama. kini berubah sejenak menjadi penjara panas, penuh dengan pengawasan bengis setelah ibu Vada guru akuntansi yang mengawasi.
Seorang siswi bangkit, berjalan perlahan menuju meja guru, tangan kirinya menggenggam secarik kertas, di balik genggaman tangan kirinya terdapat pena hitam
Ia meletakan kertas tersebut tepat di meja di depannya, hanya kertasnya yang baru bertumpu pada telapak meja bercorak kembang merah itu. Ia kembali duduk, melipat tangannya dimeja, dagunya ia senderkan pada tanganya, wajahnya menatap teman sebangkunya yang masih bertarung dengan kertas yang ada di depannya. Ia sediki tersenyum, namun matanya menunjukan kekesalan.
Teman sebangkunya balas melirik, tangan kanan yang sedang mencengkeram pena memberi kode, dua jarinya berdiri, menunjukan nomor pertanyaan, ia minta tolong untuk diberi jawaban. Rizka hendak bangkit dari senderannya, ia menghela napas pendek.
“Rizka, abaikan saja si Dino!” Suruh Bu Vada, matanya memberikan ancaman kepada Rizka. Belum sempat kata-kata keluar dari bibirnya, ibu Vada sudah memberi peringatan, iapun takut dan kembali bersender pada tangan yang masih dilipatnya di meja.
“Maaf Din,” ucap Rizka pelan, ia kembali menunjukan raut wajah kesal, menatap wajah Dino.
Dino hanya menatap diam pada kertas yang ada dihadapannya, bingung makin terasa, ia menggaruk keras rambut yang telah tak tertata lagi. Ia bergumam dalam hati melihat soal yang sepertinya sudah tak sanggup untuk dikerjakannya.
“Ibu hitung sampai sepuluh, sudah dak sudah kumpul,” ucap Bu Vada keras.
Hitungan mundur telah dimulai, suasana kelas yang hening, bahkan terlalu senyap kini berubah menjadi porak poranda, sebuah ucapan dari bu Vada layaknya membuat kelas sedang terserang gempa. Semua murid di ruangan bergegas, tangan-tangan mulai marathon mengikuti detik hitungan mundur, duduk tak beraturan, berdiri, bahkan ada yang sambil berjalan menulis jawaban.
“Selesai,” ucap bu Vada, ia berdiri mengambil tasnya di meja lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan.
Semua bergumul menjadi barisan, berlari secepat kilat, menerjang meja, kursi, bahkan saling dorongan untuk mengejar bu Vada guna memberikan secarik kertas yang sudah tak tertata lagi kerapiannya.
Ibu Vada tak kesampaian memegang kertas yang menyerangnya satu persatu, ia memanggil ketua kelas, meminta bantuan untuk mengumpulkan kertas-kertas yang bertaburan disekitarnya. “Alan, sini bantu ibu,”
“Iya Bu,” jawab Alan bergegas, ia segera jongkok membersihkan kertas-kertas yang berjatuhan, menyusunya kembali, lalu mengejar bu Vada yang telah berjalan cepat menuju ruangannya.
“Wah, bener-bener nih kuis, ancur otak gue,” gumam Dino, ia kembali melanjutkan gambaran isengnya, headset telah terpasang di kedua telinganya, kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama music yang didengarnya. Rizka masih menatap kesal wajah Dino, ia tak peduli lagi. Ia menarik tas dari laci mejanya, mengambil sebuah buku tebal dari dalam tasnya, diletaknya dimeja dengan keras hingga membuat gambaran Dino tercoret.
“Pelan-pelan dikit napa sih Ka,” ucap Dino melepas salah satu headset-nya, ia menatap kesal Rizka. Namun tak sepatah katapun keluar dari mulut Rizka, bahkan menolehpun enggan.
Rizka mengambil kertas, tangannya siap menulis jawaban dari buku yang begitu tebal, ia begitu sibuk, hingga halaman per halaman ia bolak balik begitu cepat, suara kertas dan juga gerakan Rizka perlahan membuat Dino makin kesal. Kali ini ia melepaskan kedua headset-nya, tangannya berhenti menggambar, ia melirik Rizka yang sedang bercanda dengan pena dan buku tebalnya.
Makin lama Dino tertarik dengan yang dikerjakan oleh Rizka, kadang ia membuat sebuah tabel, garis-garis panjang. Mungkin juga yang ia kerjakan lebih seru dan bahkan asyik dari gambar-gambar sembarang miliknya. Ia makin serius, kertas gambarannya ia singkirkan, ia sedikit menggesr kursinya, kedua tangannya ditumpu menahan dagunya. Matanya mengikuti arah gerak pena, terkadang menjelajahi tulisan pada buku tebal milik Rizka, kadang juga mengarsir kertas-kertas tumpukan Rizka.
Rizka tak peduli, ia tetap menggoreskan tinta-tinta terebut pada kertasnya, namun kecurigaannya tak menolaknya, ia sedikit melirik wajah Dino namun ketahuan. “Kenapa?” Tanya Dino membalas lirikan Rizka.
Rizka tak menjawab, ia makin kesal, kedua alisnya mengapit membentuk segitiga di dahinya. Dan makin membuat Dino heran.”Ada apa sih?” Tanya Dino untuk kedua kalinya.
Rizka berhenti sejenak, ia sedikit menhela nafas, ia menatap tajam wajah Dino. Dino hanya heran, bingung apa yang terjadi. Rizka kemudian mengambil kertas berikut penanya. ”Sekarang, kerjain tuh soal,” suruh Rizka sambil memberi kertas yang sedari tadi ia kerjakan pada Dino.
Dino makin bingung, ia menatap diam wajah Rizka sambil memegang kertas dan pena yang diberikan Rizka. ”Cepat kerjain tuh soal, kok malah bengong,” suruh Rizka dengan nada keras. Suasana kelas saat itu memang sedang sibuk, hingga suara-suara keras yang dikeluarkan oleh Rizka tidak begitu dihiraukan oleh teman-temannya yang asyik dengan keributannya.
“Lah, emang lo nggak tau gue gimana?” ucap Dino kesal sambil meletakan kertas yang dipegangnya ke meja.
“Makanya gue kasiin tuh soal, biar lo ngerti sama yang namanya Akuntansi.”
“Bodoh ah,”
Dino menggeser kertas dan pena ke hadapan Rizka.
“Kenapa sih lo nggak mau belajar,” ucap Rizka, ia menarik tangan Dino yang hendak bangkit dari tempat duduknya.
“Apaan sih?” Tanya Dino kesal. Ia menatap bingung dengan tingkah Rizka hari ini, biasanya ia yang berkumpul ria dengan teman-temannya menjadi seperti guru relawan yang mau untuk mengajarkan ia mengenal Akuntansi.
“Bingung gue sama tingkah lo hari ini, nggak biasanya.”
“Udah kerjain aja, itung-itung itu niat baik gue sama lo,” ia kembali menggeser kertas itu kembali ke depan Dino.
“Gue nggak tau juga kenapa kok gue mau belajar sama lo,” ucap Dino menghela nafas kecil, ia mulai serius dengan kertas pertanyaan yang diberikan oleh Rizka, ia kuat memegang pena dan siap untuk merangkai kata-kata.
Rizka tersenyum tipis, namun cepat-cepat ia tanggalkan, takut. Bukan, bahkan sedikit malu jika sampai Dino melihatnya. Ia beraktivitas dengan kaca matanya, ia menaikkan gagangnya, matanya tajam melihat tangan Dino bergerak diantara baris-baris kertas panjang. Kadang ia melirik kertas yang dikerjakan oleh Dino.
Hampir beberapa menit telah berlalu, tangannya makin kencang begerak, matanya berfokus pada buku dan lembaran kertasnya. Rambutnya sudah acakan, bajunya kusut tak ketahuan. Ia sentak menaruh pena ke meja dengan keras, Rizka yang asyik dengan kaca matanya kaget, ia melihat Dino bersender ke kursinya, kepalanya perlahan berputar melihat ke wajah Rizka.
“Ada apa?”
“Ini nih yang paling gue nggak suka sama yang namanya akuntansi,” ucap Dino keras.
“Emang kenapa?” Tanya Rizka balik.
“Jawaban gue nggak balance,” jawab Dino sembari memberikan kertasnya ke Rizka. Namun Rizka hanya membalas dengan senyuman, kali ini ia sedikit melebarkan senyumnya. Ia menaruh kertasnya, kembali menatap Dino.
“Lo tau nggak kenapa gue suka dengan akuntansi?”
“Mana gue tau, mungkin itu hobi lo.”
“Ini loh yang buat gue seneng dengan akuntansi,” jawab Rizka sambil melingkari kedua nominal yang tidak balance dari hasil jawaban Dino dengan pena miliknya.
“Jawaban yang nggak balance ini ya?” Tanya Dino penasaran. “Beda ya sama gue, kalo gue malah itu yang bikin gue kesel sama tuh akuntansi,”
Rizka mengangguk tanda mengiyakan jawaban dari Dino, senyuman itu masih menempel di bibirnya, sesuatu yang masih sulit dimengerti oleh Dino.
“Coba kita cari yang nggak balance-nya,” ajak Rizka sambil menggeser kertas ke tengah-tengah antara dia dan Dino, sehingga mereka berdua berdempet seolah rasa kerja sama itu sudah terjalin sejak lama.
“Nggak ah, gue nggak seneng nyari yang begituan, rumit. Mana susah,”
Rizka tidak mempedulikan, ia tetap mencari akun-akun yang salah dikerjakan oleh Dino dengan membandingkan dengan transaksi yang ada di buku tebal miliknya, hingga ia menemukan salah satu akun yang berdampak pada tidak balance-nya neraca saldo yang dikerjakan oleh Dino. “Ini nih,” tunjuk Rizka, matanya menatap Dino, agak lama, namun cepat ia alihkan ke kertas di depannya.
“Kok bisa?” Tanya Dino acuh.
“Iya dong, kalo penjualan kredit itu yang bertambah bukan kas, tapi utang usaha,” jawab Rizka sambil mencoret jawaban Dino yang disalahnya. Ia membetulkan, lalu membandingkan lagi dengan total yang telah dibuat oleh Dino, sedangkan Dino hanya terperangah memperhatikan. ”Masih kurang nih,” ucap Rizka, ia kembali memeriksa jurnal yang telah di buat oleh Dino.
“Ini bener nggak,” tunjuk Dino ke salah satu tulisannya,
“Nah iya ini, seharusnya kalo penjualan kredit itu masuk ke piutang, bukan kas Din,” Rizka memberitahu, ia kembali mencoret jawaban salah Dino. “Eh, ngomong-ngomong lo boleh juga ya kok bisa tau,” ungkap Rizka, kali ini ia berani untuk tersenyum manja dengan Dino, ia tidak lagi berubah menjadi pipi mengkerut atau wajah cemberut.
Dino menunduk, ia ikut tersanyum, tangannya menggaruk-garuk kepala, tanda sebuah sinyal salah tingkah mulai meraba ke dalam tubuhnya. Ia mengalihkan pujian kecil dari Rizka, matanya kembali mengikuti jari telunjuk yang mencari kesalahan dari jawabannya.
“Nih, ada lagi. Bener nggak Ka?”
Rizka yang belum berhenti menatap Dino buru-buru merubah mata nya ke jari telunjuk Dino yang sudah menempel di kertas ujian buatannya. Kini ia yang salah tingkah, matanya tak fokus mengejar jari telunjuk Dino.
“Bener kan Ka,”
“Eh, iya bener,” jawab Rizka dengan penuh kaget.
Kini mereka berdua semakin asyik mencari akun-akun yang menyebabkan neraca saldo tidak balance, asyik, bahkan seru sudah mengalir di wajah Dino, kini ia bias mengerti sedikit tentang dasar akuntansi, Rizka yang sebelumnya tampak kesal dengan Dino, kini telah reda, menyemangati Dino, ia bahkan tampak salah tingkah saat Dino ingin mengakrabkan diri dengannya.
“Nah kan balance,” ucap Rizka gembira, matanya bersinar, ia senang entah jawaban akuntansi yang mudah itu menjadi balance atau dengan hal yang lainnya. “Gimana, ngerti kan sekarang,” ucap Rizka menatap Dino yang masih fokus ke kertas ujiannya.
“Gila Ka, kok gue kayak ngerasa ada sensasinya gitu ya,” ucap Dino senang,”jadi emang bener lo suka sama nih akuntansi, pas dia lagi nggak balance, karena di situ keseruannya,”
Rizka mengangguk tanda iya,
“Gue jadi kayak ada rasa gitu sama akuntansi, nggak nyangka rupanya nih pelajaran emang bikin seneng,” ucap Dino, wajahnya makin berseri layaknya bunga layu yang telah mekar kembali.
“Nggak cuma akuntansi, tapi juga pelajaran yang lain."
“Kayaknya akuntansi aja dulu deh,” ledek Dino. “oh iya Ka, gue baru inget,”
“Kenapa?” Tanya Rizka penasaran.
“Kalo boleh tau kenapa ya kok lo mau ngajarin gue akuntansi?”
Rizka diam, sebuah ombak yang tadinya mengiringi bersama badai angin yang begitu kuat, kini tenang, anginpun bahkan tak mampu membawa ombak itu, kini ia termenung tidak dapat mengeluarkan kata-kata, namun hal itu sudah memberikan tanda. Dino tersenyum, ia mengerti, namun kali ini mulut Dino yang mengeluarkan sesuatu.
“Pulang ini aku tunggu,” ucap Dino pelan, ia bangkit, berjalan perlahan, tangan kanannya mengenggam secarik kertas yang ia kerjakan, ia keluar ruangan dengan wajah tersenyum, entah ia kini yang mulai senang dengan akuntansi atau hal lainnya.
#####
Keren coeg
BalasHapus