BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah politik termasuk salah satu
bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal ini antara
lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir batin, dan
seterusnya tidak bisa dilepaskan dari system politik yang diterapka. Karena
demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang
dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula ajaran Islam sebagai ajaran yang
mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian
masalah politik dan kenegaraan. Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun berpendapat
bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh Negara dan solidaritas
dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bias meredakan
pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu
terhadap anggota lainnya, dan menuntun mereka ke arah kebenaran.
Sejalan dengan pemikiran tersebut,
pada makalah ini pemakala akan
memaparkan mengenai masalah politik dalam pandangan Islam yang meliputi pengertiannya, sejarah perpolitikan dalam Islam, prinsip-prinsip dasar politik Islam, dan ruang lingkup politik Islam. Supaya tidak ada lagi pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social termasuk politik ini. Padahal, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.
memaparkan mengenai masalah politik dalam pandangan Islam yang meliputi pengertiannya, sejarah perpolitikan dalam Islam, prinsip-prinsip dasar politik Islam, dan ruang lingkup politik Islam. Supaya tidak ada lagi pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social termasuk politik ini. Padahal, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.
Pada
masa sekarang ini,perkembangan ilmu politik semakin maju.Hal ini membuktikan
bahwa politik merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehdupan manusia. Perkembangan
ilmu politik yang semakin maju pada suatu kehidupan misalnya cara manusia
menggunakan akal pikiran dalam menangani masalah kehidupan, dari sudut pandang
tersebut maka seorang individu dapat menggunakan ilmu politiknya dalam
menangani suatu problema kehidupan bermasyarakat.
untuk menggunakan ilmu politik
tersebut manusia mendapatkan bimbingan dari berbagai macam bentuk pendidikan
formal, informal, maupun nonformal. Dari pendidikan itulah seorang individu
dapat merealisasikan cara mereka dalam berpolitik. Dalam Negara Indonesia,
politik merupakan hal yang sangat prioritas karena politik membawa Negara ini
ke ambang pinti kemajuan, dan juga dalam politik di Indonesia, orang-orangnya
menggunakan cara yang sangat akruat dari yang lainnya. Beda dengan Negara-negara
di luar, seperti Negara-negara Arab yang menggunakan politik Islam, mereka
lebih mengarah kepada satu tujuan dan pedoman yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadist.
Dengan berdasarkan hal tersebut di
atas, maka penulis mengangkat judul laporan ini dengan judul Politik Islam,
yaitu Politik yang mengarah pada perintah dari Al-Qur’an dan Hadist dalam
menjalankannya di kehidupan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
1.2. Perumusan Masalah
Dengan
mengetahui uraian singkat di atas, tentu dapat kita bedakan apa pengertian dari
politik islam itu sendiri. Sehingga, dengan demikian kami dapat membuat
pertanyaan yang mengarah kepada hal tersebut. Bertitik tolak dari latar
belakang di atas, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana peran
politik Islam dalam masyarakat dan penguasa ?
2.
Bagaimana
hubungan antara politik Islam zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Politik
Sejarah politik adalah analisis
peristiwa-peristiwa politik, narasi (oral history), ide, gerakan dan para
pemimpin yang biasanya disusun berdasarkan negara bangsa dan walaupun berbeda
dengan ilmu bidang sejarah akan tetapi tetap berhubungan antara lain dengan
bidang sejarah lain seperti sejarah sosial, sejarah ekonomi, dan sejarah
militer.
Secara umum, sejarah politik
berfokus pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan negara-negara dan
proses politik formal. Menurut Hegel, Sejarah Politik "adalah gagasan
tentang negara dengan kekuatan moral dan spiritual di luar kepentingan materi
pelajaran: itu diikuti bahwa negara merupakan agen utama dalam perubahan
sejarah" Ini salah satu perbedaan dengan, misalnya, sejarah sosial, yang
berfokus terutama pada tindakan dan gaya hidup orang biasa, atau manusia dalam
sejarah yang merupakan karya sejarah dari sudut pandang orang biasa.
2.2. Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata
Yunani polis yang berarti kota
atau negara kota. Kemudian arti
itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti
semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara
dan politikus yang berarti kewarganegaraan. Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang
memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut
zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan
sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti
akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai
kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia
mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih
kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar
menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha
memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang
tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu
terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik
sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan
suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan
yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy,
beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies)
yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa
berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan
(power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina
kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses
itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika
perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya
merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik
merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki.
Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di
lingkungan kekuasaan negara
atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam
beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik
politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat
(public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan
kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan,
khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping
itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam
konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku
politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
2.3. Perilaku Politik
Perilaku
politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak
dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan
perilaku politik contohnya adalah:
- Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
- Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
- Ikut serta dalam pesta politik
- Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
- Berhak untuk menjadi pimpinan politik
- Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku
2.4. Politik Islam
2.4.1. Pengertian Politik Islam
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik
diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti
tata cara pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula
berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksaan), siasat dan sebagainya
mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.
Selanjutnya sebagai suatu sistem,
politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan
tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa
dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili
oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan
kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan, musyawarah,
pada mulanya buka ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara
masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam Al-qur’an
digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa
dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan
orang yang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus mengalir atau
berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang kaya (dulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk
masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.
Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk memutuskan perkara dalam
kehidupan; dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri
yang akan menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal
ini perlu dimusyawarahkan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya
sejarah menggunakan kata siyasah dan
kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk
pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya
yang terkait dengannya.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik
(siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya
oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain
datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para
khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah
itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam
politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir
dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam
rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati
pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi
kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits
terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan
dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan
pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun,
realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat
dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam
yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan
non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan
kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun
penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka
kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi
masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan
seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang
shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik
itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu
takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang
merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang
demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang
juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi
merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As
Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam
tidak bisa dipisahkan dari politik.
Adapun
definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan
(kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum
Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah
Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi
meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku.
Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits
diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus
rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits
Rasulullah:
“Imam
adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas
gembalaannya”.
Jadi,
esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat
yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam
secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan adalah dua
saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya.
Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu
yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda
dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi
hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal
ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu
Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die
Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Adapun umat Islam berbeda pendapat
tentang pengertian politik dalam syari’at Islam. Pendapat Pertama, mengatakan bahwa Islam adalah satu agama yang
serba lengkap yang didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau
politik. Dalam bahasa lain, system politik atau fiqih Siyasah merupakan
integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem
keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad Saw dan para Khulafaur rasyidin, yaitu sistem khalifah.
Pendapat
kedua, menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat
(sekuler), artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan kenegaraan atau
sistem pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya seorang rasul,
seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan agama bukan
sebagai pemimpin dan pengatur Negara.
Pendapat
ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap
yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem
ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pendapat
barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Namun perlu diingat, sejarah
membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala agama beliau adalah
sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau Madinah al-Munawarah
sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan
Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan
beliau sebagai kepala Negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil
kesepakatan para tokoh sahabat, selanjutnya disebut Khalifah. Sistem
pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung hingga kepemimpinan
dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.
Semua orang mengakui bahwa semua tata
aturan yang Rasulullah Saw tegakkan bersama-sama para mukmin di Madinah,
apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran-ukuran
politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa tata aturan itu
merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan kita
mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita lihat
kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. Kalau demikian, dapatlah
kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang bersifat
politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat Islam meliputi segi-segi
kebendaan (maddiyah) dan segi-segi
kejiwaan (ruhiyah)dan dia mencakup
segala amal insani dalam kehidupan
duniawiyah dan ukhrawiyah.
2.4.2. Sejarah Politik Islam
a) Politik Islam
Masa Nabi
Islam adalah agama
pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota Makkah
dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima
sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang
mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat
sosial Makkah dapat kita lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh
kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Peristiwa tersebut
menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang
ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari
Ta’if yang kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh
kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam
tumbuh berkembang pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa
kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam
di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan
kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan
Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran
monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan
datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan
memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama
islam juga mempunyai kaitan yang erat dengan aspek politik. Sesuai dengan yang
telah dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya bahwa persoalan yang
pertama-tama timbul dalam Islam adalah prsoalan politik.
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari
dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut
menandai akan adanya kebebasan menyebarkan agama Islam sehingga
secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat
dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan
secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy
akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu
eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah
politik selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib.
Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari
masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan langkah yang cerdas dan penuh dengan
perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para
pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.
Para peneliti sejarah politik ada yang
mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh nabi Muhammad adalah
bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap
menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian
menunggu ketetapan dari tuhan
Kehidupan Yatsrib
(kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad menjadi batu
pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar
sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali
muncul dan berkembang di Madinah.
Perpolitikan Islam di
Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan
aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan
Khazraj). Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh
dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.
Langkah politik Nabi
Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan
cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang
harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi Muhammad
membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang
tercatat sebagai piagam Madinah.
Piagam ini merupakan
dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu
seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah
menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan
pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi
tempat yang memiliki peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati
seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi
dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung
tinggi hak dan egaliter.
Menurut al-Sayyid
Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris
mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat
tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.
Para sejarawan
berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan
roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman
akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad
sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil
dari ijtihat sebagai
seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi
masyarakat?
Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian
dalam bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam
memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung
demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran
sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang bersifat duniawi
seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa
Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan
masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit
tanpa melihat pada kondisi masyarakat.
Terlebih, sepeninggal
nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik yang
baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi
Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai
golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi
sebagai sebuah sistem yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam
adalah agama yang paling demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi
sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,
maka Islam bukan agama demokrasi karena secara hukum syari’ah Islam berasal
dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.
b) Politik Islam Masa
Khalifah al-Rasyidin
Sejarah perkembangan
umat Islam yan mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya dimulai setelah Nabi
wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba sistem
perpolitikan dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk konkret
dengan berdasarkan pada landasan-landasan yang telah dibagun dan diletakkan
oleh Nabi Muhammad. Sejarah perkembangan umat Islam yang berjalan secara
gradual dan terseok-seok dimulai dengan munculnya masa khalifah al-Râsyidîn.
Pada masa khalifah
al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses
pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem
perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk
pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik
Pada waktu Nabi Muhammad
wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin sebagai pengganti
Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin anshar
berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin. Dalam
musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan kepada umat
Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah.
Kaum muslim anshar berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin adalah
harus berasal dari kaum anshar, karena Nabi Muhammad telah melakukan misi
dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13 tahun namun dengan pengikut yang
sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan kaum kafir Qurasy.
Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan leluasa bisa
melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar, sehingga
Nabi Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.
Sedangkan kaum muslim
muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin pengganti Nabi
Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah adalah
orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad. Setelah melalui
perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan
kaum muslimin mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan terpilihnya Abu
Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi
Muhammad.
Namun, dalam salah satu
sumber mengatakan bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai
khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses
pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu
Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia tidak menyetujui kecuali setelah beberapa
waktu yang cukup lama. Menurut riwayat dikatakan bahwa Ali ibn Abi
Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad karena ia adalah
orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi suami dari Fatimah, putri Nabi
Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding Abu Bakar
al-Siddiq.
Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq
merupakan statemen politik yang maju dengan menggunakan prinsip-prinsip modern
yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan khotbah pertama yang
menerangkan sistem pemerintahan Islam. Abu Bakar al-Siddiq merupakan
khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh
umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur
politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq
adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah.
Sosio politik umat Islam
pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip perpolitikan
dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran
agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq
dalam mengambil kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai
khalifah yang tangguh dan berwibawa.
Perlawanan dan
pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, menjadikan
khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan memilih khalifah
ke dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan komite pemilihan
khalifah untuk menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan
persetujuan kaum muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara
aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua setelah Abu Bakar al-Siddiq.
Persoalan yang terjadi
pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada persoalan politik
luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. salah
satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir.
Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung
oleh keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab.
Perpecahan terbesar
terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul karena para
pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan kepemimpinan kaum
muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika khalifah Utsman ibn
Affan lebih mementingkan kedekatan (kerabat) dalam pengangkatan para penguasa.
Khalifah Utsman ibn Affan yang notabeni berasal dari keturunan bani umayyah,
mendapat tantang keras dari kaum Syi’ah dan keturunan bani Hasyim. Perselisihan
politik semakin memanas sebagaimana pertikayan yang pernah terjadi antara Bani
Hasyim dan Bani Umayyah pada masa jahiliah (sebelum kedatangan Islam).
Gerakan makar oleh
sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka menentang
kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn Abi
Thalib sebagai justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif dalam
peristiwa tersebut adalah Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman dan
kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat
Islam berpaling dari khalifah Utsman ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn
Thalib.
Setelah khalifah Utsman
ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin memilih dan
mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses
pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga
golongan. Pertama; golongan
yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh
sebagian besar para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah,
mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam
pembunuhan khalifah Utsman ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak
pada kedua golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para
pembesar umat Islam dari kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar
ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid,
Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di
atas, muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij,
Syi’ah dan Murjiah.
Masa perpolitikan umat
Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib. Masa
khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu mengenal
perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara keempat khalifah
tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara wajar. Umar ibn
Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang beragama nasrani, Utsman ibn
Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya diserang dengan tuduan
pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh ketika sedang dalam
perjalanan menuju masjid.
c)
Politik Islam Masa dari Khilafah Menuju Daulah
Jika kita mengkaji
secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan menemukan beberapa
pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada realita yang ada. Dengan
analisa yang bersifat instan, maka kita akan mampu memprediksi hal-hal
yang akan terjadi di masa mendatang.
Di sinilah kita akan
menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam catatan sejarah,
Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai khalifah pada
tahun 660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa. Peristiwa tersebut
menyebabkan perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua bagian, pertama; Kuffah sebagai pusat
pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan Mua’wiyah.
Namun secara garis
besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah khalifah Ali ibn
Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting point perubahan sistem
perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
Dalam sejarah tercatat
bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi suasana ricuhdalam tubuh umat Islam.
Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah dengan sistem daulah telah
menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun
rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan membangun
infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
Sosio perpolitikan umat
Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai pertempuran ideologi
antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk
memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa
dengan muda diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian
umat Islam maju dengan pesat terbukti dengan adanya mata uang khusus yang
disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual beli. Pergantian
pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan, sehingga jauh berbeda
bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750
M.
Setelah dinasti Umawiyah
runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik yang sama. Bani
Abbasiah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim secara otomatis
mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiah,
berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara pesat. Budaya
Yunani tersebar luas pada masa dinasti ini, dengan ditandai dengan banyaknya
buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani. Dinasti ini bertahan dari
tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh
oleh Abu al-Abbas Al-Saffah dan berakhir pada masa al-Musta’sim. Kedua; Dinasti Abbasiyah di
Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa al-Mutawakkil
III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan sistem keturunan
dalam proses peralihan kekuasaan.
2.4.3. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam
Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional
pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam
sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan,
“Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai
tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk
merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya
sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi
dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik
Islam era klasik, menurut Mumtaz
Ahmad dalam bukunya State, Politics, and Islam, menekankan
tiga ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat
Muslim (ummah), hukum Islam (syari’ah), dan
kepemimpinan masyarakat Muslim (khilafah).
Prinsip-prinsip negara
dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang
mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada
prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip dasar
politik adalah: pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu
merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik
Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori
politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976:
147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah
adalah landasan dari sistem sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul
Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat
politik dalam Islam.”
Kedaulatan ini terletak
di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah. Syari’ah
sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh
dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’
al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri sendiri.
Kedua, syura dan ijma’. Mengambil
keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan
konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus
ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara
adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan)
yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah adalah tidak dapat ditolerir dan
tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak pokok
tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq
al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan
terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan
untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan
hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang
layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan
aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang
oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti
tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan
negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga
negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika
itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang
memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus
sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip dan
kerangka kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap
dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah
di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.
Keenam, ikhtilaf dan konsensus yang
menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan
dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip
mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai
tujuan bersama.
Selain prinsip-prinsip
dasar negara yang konstitusinya berdasar syari’ah, ada juga
prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan
termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum ketatanegaraan
dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan tersebut adalah mengenai pembagian
fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif,
dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga badan (lembaga negara) tersebut
prinsip-prinsip berkonsultasi (syura) mesti dilaksanakan di dalam riset,
perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah dengan
memperhatikan otoritas (kewenangan) yang dimiliki masing-masing lembaga
tersebut.
Prinsip-prinsip politik dalam Islam, Abdul Qadir Audah
dalam bukunya Al-A’mal al-Kamilah:
Al-Islam wa Audha’una al-Qanuniyah(1994:
211-223) mensistematisir sebagai berikut: 1) Persamaan yang
komplit; 2) Keadilan yang merata; 3) Kemerdekaan dalam pengertian yang sangat
luas; 4) Persaudaraan; 5) Persatuan; 6) Gotong royong (saling membantu); 7)
Membasmi pelanggaran hukum; 8) Menyebarkan sifat-sifat utama; 9) Menerima dan
mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan; 10) Meratakan kekayaan kepada
seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya; 11) Berbuat kebajikan dan saling
menyantuni; dan 12) Memegang teguh prinsip musyawarah).
2.4.4.
Ciri-ciri Politik Islam
Dalam
pelaksanaannya politik islam memiliki beberapa ciri-ciri yang sangat mengikat
pada politik islam itu, diantaranya :
1. Rabbaniyah
Rabbaniyah merupakan suatu system politik
islam yang bersumber dari wahyu Allah Azza wajala, yaitu Al-Qur’an dan
hadis-hadis sahih. Artinya dalam system rabbaniyah ini segala peraturan yang
dibuat tidak akan dapat diganngu gugat seperti halnya peraturan-peraturan yang
dibuat oleh manusia.
2. Syumul
Pengertian dari syumul itu adalah segala
perkara yang menyangkut urusan duniawiyah ataupun ukhrowiyah. Dimana dalam
perkara ini memang meliputi semua sisi kehidupan manusia.
3. Muwafiqotul
fithrah
Yaitu aturan yang sesuai dengan fitrah
atau sifat dasar manusia. Maksudnya adalah bahwa politik islam dalam hal ini
sangat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban pemerintah dengan rakyatnya.
4. Nizhomul
Akhlak
Nizhomul akhlak yaitu dasar dalam politik
islam yang selalu menekankan terhadap pembinaan akhlak yang mulia, seperti
halnya sikap adil dan bijaksana serta perbuatan terpuji, juga melarang semua
perbuatan yang tercela, sehingga politik politik islam itu tidak pernah
melegalkan perjudian, pelacuran, miras dan narkoba apapun alasannya. Karena
memang semua itu sudah dilarang oleh agama.
2.4.5
Peran
Politik Islam
1. Peran
Kepala Negara dalam Politik Islam
Untuk mengurusi tanggung jawab
kepentingan masyarakat, maka secara syara’ tanggung jawab itu diberikan kepada
penguasa, dan penguasa disini bias dikatakan sebagai kepala Negara (khalifah).
Inilah yang dapat menjadikan peran kepala Negara dalam politik islam, yaitu :
a) Menjalankan
hukum islam sebagai konstitusi Negara.
b) Bertanggung
jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.
c) Mengangkat
dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.
d) Berhak
menerima dan menolak duta-duta asing.
2. Peran
Masyarakat dalam Politik Islam
Tidak jauh berbeda dari peranan kepala
Negara dalam politik islam, masyarakat juga mempunyai peran dalam menjalankan
kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa). Sebagaimana yang telah difirmankan
oleh Allah dalam surat An-nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Sehingga jelaslah bahwa peran masyarakat
untuk menaati penguasanya dalam politik islam itu memang penting. Karena dengan
adanya komponen-komponen tersebut politik islam itu dapat berjalan secara aktif
dan sesuai dengan tuntutan dalam ajaran islam.
Selain berkewajiban untuk menaati
penguasanya, masyarakat juga mempunyai tiga peran penting dalam politik islam,
yaitu :
1.
Kekuasaan
memilih penguasa.
2.
Terlibat
dalam musyawarah.
3.
Mengoreksi
penguasa.
Peran-peran
itulah yang nantinya memperlihatkan bagaimana seorang penguasa dan masyarakat
bisa menjadi bagian-bagian dalam masalah yang muncul pada suatu negara.
BAB III
PENUTUP
Definisi
politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan)
umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam.
Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel,
para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti
Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para
Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits
diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus
rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits
Rasulullah:
“Imam adalah seorang
penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya”.
Jadi,
esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat
yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan
Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan
adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala
sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan
Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan
kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah
kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa
kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein
yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht”
(politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Pada garis
besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi:
1. Siyasah Dusturiyah atau fiqih modern
disebut hukum tatanegara,
2. Siyasah Dauliyah atau disebut hukum
internasional dalam Islam,
3. Siyasah Maliyah yaitu hukum yang
mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara
Sehingga dari penjelasan-penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa
politik islam itu memang mempunyai keaktifan dan keterkaitan dalam perannya
pada suatu negara. Karena memang peraturan-peraturan dan asas-asas yang ada
dalam politik islam itu bersumber dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. Bukan
dari ide-ide, gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran manusia yang kadang masih
diselimuti oleh kelemahan dan kekurangan. Sehingga politik islam yang berasal
dari Allah SWT ini mampu bersikap adil antara golongan yang satu dengan yang
lainnya, tanpa membebani atau memberatkan salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA
http://al-ahkam.net/forum09/viewtopic.php?f=9&t=38793
0 komentar:
Posting Komentar